Penutup Ketersiksaan
Tinggal di asrama itu bukanlah suatu yang mengenakan, apalagi dengan segala keterbatasan. Sebut saja susah makan. Ini bukan masalah soal uang yang berada di kantong, tapi soal alat masak yang hanya rice cooker di kamar. Minimnya peralatan masak membuat saya selalu pergi ke warung nasi yang jaraknya hampir satu kilo setiap jam tujuh malam. Lagi-lagi ini bukan soal jarak. Ini soal kebebasan. Keluhan ini akan meluas menjadi saya yang sering terkunci di asrama saat hendak jam makan itu tiba. Asrama hanya soal nama, kenyataannya saya seperti tinggal di sebuah kosan namun tanpa kebebasan. Kadang saya tidak habis pikir dengan petugas asrama yang menyamaratakan keadaan. Jelas saya bukan siswa. Asrama sering di kunci supaya siswa tidak sering keluar masuk asrama terutama di jam sekolah dan sholat. Lalu kenapa saya tidak menduplikat kunci? Tidak semudah itu nampaknya, banyak persoalan yang kadang sepele membuat terlihat rumit kalau berbicara mengenai lingkungan sekolah itu.
Baiklah akan saya ceritakan sedikit kenapa saya berada di tempat yang mengagumkan itu (Kira-kira begitu jika saya mau berbohong mengenai asrama itu).
Sudah hampir tiga bulan saya mengajar di sebuah sekolah boarding school pinggiran desa. Atas saran managemen saya di tempatkan di asrama bersama siswa, sementara sebagian guru yang lain tinggal di mess masing-masing yang telah di sediakan sekolah tersebut. Hal ini tidak masalah bagi orang baru macam saya untuk tinggal di manapun. Apapun itu saya mengjunjung tinggi keputusan managemen. Tapi seiring waktu yang terus berjalan, ketidaknyamanan dan ketidakbebasan datang, salah satunya yang saya sebutkan di atas. Terkunci di kamar sendiri. Rasanya tersiksa sekali. Saya jadi mulai tidak suka dengan kondisi itu. Mulai tidak menyukai lingkungan di sana. Mulai tidak menyukai pekerjaan. Karena tidak suka pekerjaan, saya jadi tidak suka dengan orang-orang di sekitarnya. Maka gandalah penderitaan saya. Sudah tersiksa dengan pekerjaan, tersiksa pula dengan lingkungan.
Namun saya percaya, semua penderitaan itu pasti akan ada manfaat kelak. Modal itu akan menjadi bekal dikemudian hari. Tidak ada yang sia-sia dari sebuah penderitaan yang saya jalani. Saya jadi mulai terbiasa bangun pagi karena pengeras suara yang mengganggu setiap jam setengah lima pagi. Mulai terbiasa sholat berjamaah walau diawali cuma karena rasa tidak enak. Mulai menyukai olahraga. Mulai terbiasa ke masjid. Mulai-mulai itulah yang kini bisa sedikit menutupi ketersiksaan saya kini.
Namun saya percaya, semua penderitaan itu pasti akan ada manfaat kelak. Modal itu akan menjadi bekal dikemudian hari. Tidak ada yang sia-sia dari sebuah penderitaan yang saya jalani. Saya jadi mulai terbiasa bangun pagi karena pengeras suara yang mengganggu setiap jam setengah lima pagi. Mulai terbiasa sholat berjamaah walau diawali cuma karena rasa tidak enak. Mulai menyukai olahraga. Mulai terbiasa ke masjid. Mulai-mulai itulah yang kini bisa sedikit menutupi ketersiksaan saya kini.