Senin, 24 Februari 2014

WIh SUDA h lah..

Pagi sekali aku sudah bangun dari tidur. Menyibak gorden menyambut pagi. Untuk menyadarkan diri dari buaikan kantuk  yang begitu berat, aku menatap kosong hamparan rumah kontrakan dari balik jendela kamar kecil. Badan masih terasa letih akibat pulang ngajar semalam, rasanya ingin melanjutkan tidur sesegera mungkin dan menemukan mimpi indah di balik selimut indah di atas kasur empuk, tapi keinginan itu terkalahkan dengan janji yang harus aku penuhi. Janji yang akan bisa merubah masa depan.

Pepohonan masih terlihat basah akibat hujan semalaman. Terang perlahan merayap malas menghapus gelap. Suara burung berderu seru melengkapi alam pagi ini. Setelah beberapa menit terpaku ke luar kamar, aku coba menggerakan badanku turun dari tempat tidur, menyambar handuk di balik pintu kamar. Aku berjalan gontai menuju kamar mandi.

"Kamu sudah sarapan?" Sapa Ayah ketika aku menurin tangga menuju ruang tamu untuk menggambil sesuatu.

"Nanti aja, Yah, di kampus" Jawab ku malas

"Ye, kamu gimana sih. Ibumu sudah bikinin kamu nasi goreng tadi. Makan di rumah aja" Kata ayah sambil membalik koran yang tengah ia baca.

"Aku, buru-buru,Yah, ada janji sama dosen pembimbing. Siang nanti dosennya mau pergi lagi ke luar kota" kataku sambil memasukan beberapa buku ke dalam mobil.

"Itu benaran, kan? Kata Ayah ragu, tapi sekaligus senang.
"Bener, Yah, Ahmad kan kepengen cepet lulus kayak Bimo. Biar cepet kawin" Jawabku datar, tapi jelas aku bercanda sama Ayah.

"Kuliah aja belum lulus-lulus udah ngomongin kawin" gerutu Ayah sembari menyambar secangkir kopi di atas meja tepat di depan ia duduk.


Mobil berderit meninggalkan garasi yang masih terbuka yang untuk beberapa menit kemudian di tutup lagi oleh Mang Darmo.

Hidup itu tidak selamanya berjalan lurus-lurus saja. Bukan atas kemauan seseorang. Tapi ada kalanya kita dibentur oleh keadaan-keadaan yang tidak sama sekali kita inginan. Semangat boleh full, mimpi boleh tinggi. Tapi kalau harus setiap saat ketemunya dengan masalah yang sama, rasanya ingin mencari jalan lain, dan, jalan lain itulah yang saat ini juga belum terbentuk di benak, apalagi terlihat di mata.

Sudah berapa kali aku ganti judul skripsi. Untuk menentukan judul saja rasanya tidak becus, apalagi menyusun rangkai skripsi yang super tebal yang bisa saja membuat anjing tetangga mati berlumuran darah akibat tertimpuk kitab karangan tak bebas itu. Bukan hanya tak bebas dalam soal mengarang, tetapi juga tak bebas kapan aku boleh menyelesaikannya.



"Ahmaddd...bhadiikk......" sapa Danar mahasiswa yang hampir senasib denganku, ketika baru aja aku menutup pintu mobil.

"Lo, masih hapal jalan ke kampus sob?"
"Hampi lupa gue. Yang lagi ngomong sama gue aja, gue lupa lo siapa?"
"Kampret, lo"

"Oia lo udah liat, Pak Ramlan?"
"Tadi sih ada di ruang jurusan. Udah nanti aja bimbingannya, ngopi dulu kita, ke kantin?"

"Nggak bisa brader, gue harus buru-buru nih, keburu pergi lagi tuh pembimbing yang terhormat"

"Siap..kapten, gue tunggu di kantin ya.."

Gue heran sama Danar, hidupnya terlalu santai, nggak punya target dan hidup selalu di bikin enak. Gue kepengen hidup seperti itu, tapi lagi-lagi gagal. Danar tenar sekampus. Angkatan berapa yang nggak kenal sama dia? Ketenarannya dia raih dengan jalan kuliah bareng adik tingkat. Danar sering kuliah bareng sama adik tingkat, entah sudah kedalaman berapa dia ngerasain satu mata kuliah bareng adik tingkat.

"Permisi, Pak" sapaku pada seorang cleaning serivis tua yang tengah bekerja di ruangan itu. Ada, Pak Ramlan?" Kataku yang hanya mengerakan bibir, nyaris tak ada suara yang keluar dari mulut.
"Baru aja pergi, mas. Mungkin sudah setengah jam yang lalu" Jawab bapak tua itu sopan.

"What, setengah jam, BARU?" aku menggerutu dalam hati.
"Oke, Pak, makasih" aku perjalan mundur dan menutup pintu ruang jurusan.

Aku perjalan gontai menuju kantin. Pak Ramlan baru saja pergi kata seorang claning servis yang menurutnya setengah jam itu 'baru saja'. Mungkin Ia sudah dalam perjalanan menuju bandara dengan headset kesayangannya. Entah ia balik kapan. Sepertinya aku akan melewati wisuda tahun ini sama seperti wisuda tahun-tahun sebelumnya, dengan skripsi yang tak kunjung berjudul, dan dengan sidang skripsi tak kunjung tiba. Wisuda kini hanya masih sebatas harapan yang terterah di kamar tembok, masih sama berseru di atas kertas yang ku coret ketika aku mulai bosan dengan semua ini. Aku mati dalam mimpi-mimpiku sendiri. 





SELANJUTNYA >>

Sabtu, 15 Februari 2014

Lagi Homesick

Seminggu di sini serasa sebulan...

Kalau gue perjelas kalimat di atas adalah...

Gue nggak betah..

Oke. Tapi gue harus profesional. Gue harus melakukan apa yang bisa gue lakuin di mana gue berada. Bukankah di manapun posisi kita sekarang, adalah keputusan kita. Tidak ada yang sia-sia dengan apa yang kita lakukan selama itu positif.


Lo lagi ngomongin apa sih, Bang?

Itu sebagian kecil uneg-uneg di dalam hati.

Udah seminggu ini gue tinggal di asrama jauh dari orang tua. Nyuci sendiri, makan cari warung sendiri, dan memenuhi segala kebutuhan dilakukan sendiri. Jauh banget dari kebiasaan gue di Jakarta yang segalanya udah ada ibu yang ngurus. Duh kerasa banget kalau seorang ibu begitu berjasa bukan hanya secara fisik tetapi juga secara jiwa. Walau letih di rumah, asal ada ibu, rasanya letih itu hilang seiirng cerita ibu atau ketika manja itu datang dengan serta merta ibu memijit badan ini.

Kalau lagi datang rindu. Rasanya wajah ibu yang lebih dulu nonggol di pikiran ini. (Rasanya ingin nangis. Maaf motivator juga manusia)

Disinilah gue harus belajar.

Gue memulai di sini dari nol kembali. Membereskan kehidupan yang sempet nggak beres. Terutama hal kedisiplinan dan kemalasan. Gue seorang guru, tapi rasanya gue malah jadi seorang murid di sini (Bukan hanya karena gue satu-satunya guru yang tinggal bareng siswa di asrama. Membaur pun lebih banyak sama murid ketimbang rekan-rekan guru)

Banyak banget yang gue nggak tau, terlebih soal agama. Tapi gue harus memulai...

Membayangkan menjadi murid selama tiga tahun di sini saja gue udah stres duluan, apalagi menjadi guru yang pasti akan jauh lebih lama dari itu. Hidup rasanya lebih monoton dengan melakukan itu-itu saja. Ngajar- Asrama-Ngajar-Asrama. Heh? Selama tiga tahun?

Tapi bagaimanapun juga gue nggak boleh pesimis, ini kan baru langkah awal. Gue belum tahu kehidupan lebih jelas di sini. Dan gue mesti cari tahu kenyamanan hidup dengan ritme seperti ini.   

 Semangat!!

SELANJUTNYA >>