Senin, 14 April 2014

Lebih Baik Gagal Pulang dari Pada Gagal Hidup

Gagal Ke Jakarta
Gue gagal pulang bareng Nisa dan orang tuanya ke Jakarta. Padahal tawaran Nisa gue sambut dengan hati penuh gegap gempita pagi itu. (Ya, selain hemat ongkos, kali aja ada snack gratisannya juga sepanjang perjalanan ke Jakarta. Ngarep). 

Murid gue yang ramai (walaupun sendiri) kalau di kelas itu ternyata tetangga gue di Jakarta. Jarak rumah kita nggak begitu jauh, sekitar lima jam (Itu kalo gue ke rumahnya menggunakan ala suster ngesot, tapi kalo naik motor sekitar 5 menitan). 

Penyebab kegagalan itu sederhana, gue dapat tugas dadakan dari Pak Kepsek, dan hari itu juga gue mesti menghadiri workshop di Selabintana, Sukabumi. Gue sedih, pohon-pohon terkekeh, kupu-kupu terharu hinggap di dahan keruh, dan gue memang lebay.

Seketika itu juga gue langsung packing. Ini packing tercepat yang pernah gue lakukan. Iya karena gue cuma bawa satu stel pakaian dan dua celana dalem. 

Setelah selesai packing, gue langsung menuju parkiran sekolah. Sopir yang mau mengantar gue sudah siap, tapi hati gue belum siap, karena pikiran mau pulang ke Jakarta belum lenyap sepenuhnya di tempurung otak.

Tapi walau bagaimana pun ini pertama kalinya gue menghirup udara bebas Sukabumi, setelah sekian lama terjerembab di asrama. Dan ini kesempatan gue untuk mengenal Sukabumi lebih jauh lagi. Hahaha...Gue coba menghibur diri

"Selama jadi sopir, paling jauh ke mana Pak?" Tanya gue sok akrab sama sopir sekolah. Sementara mobil terus bergerak meninggalkan gerbang sekolah melintas bebatuan dan jalan berlubang yang kiri kanannya terbentang persawahan dan rumah warga. Untuk sebuah pemandangan indah, tempat gue ngajar itu emang juaranya. Pesawahan yang membentang luas serta gunung yang serasa lima kali salto saja bisa sampai ke puncaknya adalah pemandangan sehari-hari di sini. Tapi kehiruk-pikukan Jakarta kerap kali bikin rindu, apalagi memadu secangkir kopi dengan roti bakar di kafe tempat biasa gue duduk sendiri adalah hal yang belum bisa gue tinggalkan secara ihklas.

"Kalau perjalanan dinas paling ke Bandung dan Jogja, tapi kalau pribadi saya pernah ke Kebumen, Pak" Jawab sopir dengan tidak meninggalkan logat sundanya.

"Oh gitu" Jawab gue sambil manggut, dan terus memperhatikan rumah-rumah warga yang terlintas.

"Kalau kerja di Alkausar sudah berapa lama Pak?" Inilah jurus basa-basi gue yang super basi. Gue percaya basa basi itu bisa juga membangun keakraban.

"Dari tahun sembilan-sembilan, Pak" Gue tahu maksudnya 1999.

Gue mangut-mangut lagi.

Gue melirik jam tangan. "Oia, kalau masih ada waktu kita cari makan dulu, Pak. Tempat makan yang enak di Sukabumi di mana ya? Kalo bisa soto" Tetep di mana pun gue berada soto tetap menjadi makanan favorite. Lebih tepatnya gue gak bisa makan sembarangan, apalagi sambel dan makanan yang digoreng. Kampret. Jadi soto adalah makanan yang pas di lidah apalagi di perut. 

Gue emang sengaja berangkat pagi supaya banyak waktu buat mampir-mapir dulu, dan menjamah Sukabumi lebih lama lagi. 

===
Setengah jam kemudian, mobil berbelok dan parkir tepat di depan warung-warung tenda.

"Ini, namanya kantor dinas, Pak" Kata Pak Sopir sambil mengangkat rem tangan mobil

"Warung-warung ini, Pak?" 

"Bukan, eta!" Pak sopir menunjuk gedung yang berada di sebelah kanan warung-warung tenda berjejer itu. Rupanya becandaan gue dianggap serius.

"Ooh" Kata gue sambil manggut lagi.

Gue menuju salah satu warung tenda itu. 

"Aya, ada soto Bu?"
Gue sadar bahasa sunda gue hancur berantakan. Tapi bodo, dia nggak kenal gue. Dan gue juga sadar ada dan aya itu sama artinya.

"Aya. Sabaraha?"

"Siji, Bu". Sumpah gue nggak tahu itu bahasa sunda atau jawa. Tapi otak gue langsung komplen. Hiji kali, bukan siji

"Pak, mau pesen apa?" Tanya gue sambil menyeret bangku hingga berderit, supaya orang-orang yang barusan mendengar kekeliruan gue langsung teralihkan.

"Samain aja" Kata Pak sopir sopan.

"Bu, hiji deyi" Gue ngomong agak pelan (mungkin lebih terdengar biji), karena takut terdengar salah, tapi tangan gue cukup menjelaskan kalau gue pesen satu lagi. Gue ngelirik seorang ibu dan anaknya yang masih memakai seragam SMA, mereka menutup mulutnya, menahan tawa. Sementara gue menahan malu. Agghhhhh.....!!

Seusai makan soto di warung tenda, kita melanjutkan perjalanan lagi.

"Ini, Pak"  Gue menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan ke Pak Sopir.

"Dari Pak Henda?" Tanya sopir itu

"Ya, dari saya dong, Pak. Kan saya yang ngasih" Kata gue sambil becanda. " Itu uang pribadi saya, Pak, bukan uang sekolah"

"Oh, terima kasih Ya" kata sopir itu senang.


Hotel, Selabintana

"Permisi, bu. Kalau workshop guru matematika di mana ya?" tanya gue sama seorang ibu gemuk berkerudung yg sedang sibuk dengan handphonenya.

"Di sini, Pak" Sambil tidak melepaskan handphonenya dari telinganya. "Tapi belum pada dateng. Dari SMA mana?" Katanya melanjutkan, sambil menunjuk ke arah muka gue.

"Al Kausar, Bu" Jawab gue pelan, dan agak ketakutan.

"Nah!!"

Ibu itu langsung senang. Mimik mukanya tiba-tiba berubah.

"Ngaji nya?" (ngaji ya?)

"Ngaji?" Gue agak sedikit kaget. Apa gara-gara gue pake baju koko?. Gue ngelirik baju yang gue kenakan.

"Iya, ngaji buat pembukaan nanti. Dari Al Kausar mah bisa lah. Itukan sekola pesantren" Kata ibu itu menggampangkan persoalan.

"Mhhm...nggak bisa bu. Saya nggak bisa ngaji (lebih tepatnya gue demam panggung kalo ngaji di depan orang banyak). Saya masih baru di Alkausar" Gue ngeles.

"Kamu masih mahasiswa?" Ibu itu tiba-tiba memperhatikan muka gue. Gue takut kuadrat.

Sebelum gue menjawab, ibu itu langsung nyeletuk. " Yaudah jadi dirigen aja nya. Buat Indonesia Raya?"

Emang nggak ada cewek? Tanya gue dalam hati. Tapi tentu gue nggak bisa nolak untuk yang kedua kalinya.

"Iya, bu. Bisa" Jawab gue melas.

"Ya sudah, sok cari kamar sendiri atuh" Ibu itu memang benar-benar menggampangkan persoalan.

"Di mana, Bu?" Sebagai orang yang nggak tahu apa-apa, jelas gue dalam masalah besar. Ke workshop tentang guru pun gue baru saat ini, Sukabumi pula, dengan bahasa sunda yang minim pula, ditambah gue dateng seorang diri, tanpa guru-guru yang lain.

"Eta, pilih aja salah satu. Tapi satu tempat untuk enam orang nya".  Kata ibu itu, sambil me list nama gue sebagai dirigen

Gue diem beberapa saat.

"Yaudah jalan sana. Eta di ditu, aya kok kunci na"

Tanpa banyak berkomentar gue langsung mencari kamar di lingkungan hotel itu. Hotel yang klasifikasinya resort hotels membuat gue agak excited sebenarnya. Selabintana, mungkin sebagian dari kita banyak yang tahu. Tempat wisata yang berada di kaki gunung Pangrango memang menawarkan keindahan alam yang memukau. Tapi masalahnya gue bukan untuk senang-senang di sini, gue mau ikut workshop. Persis kayak lagi dikasih makan enak tapi kondisi gusi lagi sariawan. Damn. Percuma.


Di Kamar Hotel

"Pak sudah berapa orang di diyeu?" Tiga orang bapak mengetuk pintu sambil sesekali mengintip jendela.

"Saya, baru sendiri, Pak" Jawab gue sambil membuka pintu.

"Yaudah kita di sini aja" Kata satu dari mereka, dengan memakai bahasa sunda yang mudah gue pahami.

Mereka masuk tanpa persetujuan gue. Mungkin hak mereka, suka nggak suka kalau mereka mau memililih di sini, siapa juga yang larang. Aku rapoo..


Mereka langsung duduk di ruang tamu, menyandarkan badannya ke bangku, meletakan tas mereka masing-masing di sebelahnya. Gue persis pelayan meraka. Kampret. Akhirnya gue duduk di samping mereka menyamakan strata.

Nama saya, Ahmad, Pak" kata gue mengulurkan tangan satu-satu ke mereka.

Seorang bapak yang tepat di samping gue berbicara ke gue dengan nada emosi, tapi sayang. gue nggak ngerti, tapi gue ngerti maksudnya kalau dia sedang komplen sama pelayanan panitia workshop itu.

Gue manggut-manggut, tanda mengerti, walaupun sejujurnya nggak ngerti sama sekali apa yang dibicarakannya, karena selain dia berbicara sangat cepat, pake bahasa sunda pula. Aggghhhh.....!!

Bapak itu terus melanjutkannya pembicaraan dengan semangat empat lima kali sepuluh

"Kang, saha tadi namina?"

"Ahmad"

Bapak 1 : Nyaho teu, Kang Ahmad ...%$^@$%^*$E65$#$%^&*7$..... "
Bapak 2: Nya kitu,.....ggsf$#@%&*57767%5546^*%%#%#7^67...."
Bapak 3: Lain atuh,...%$^&*(&&&#$#!#$FHJGDFG()09877 ....."
Gue : "??????????????????????????????????????????????????"
(30 menit berlangsung. Tiga bapak itu penuh luka tusukan. Gue kayang mundur mengitari mayat mereka.)

Gue lelah mikir. Mereka malah makin seru ngajak ngomong gue. Dan kampretnya, dia nggak ngerti kalau gue lagi nggak ngerti. Dua puluh menit itu juga gue cuma mangut-mangut, tanpa berdaya, hingga akhirnya.: "Silahkan Pak ke kamar, beres-beres dulu" Terpaksa gue putus obrolan mereka, dan kayaknya mereka baru sadar kalo yang sedang di ajak ngomong nggak ngerti bahasa mereka, karena gue menawarkan secara sopan dengan bahasa Indonesia

=======

Karena kita keasyikan ngobrol, lebih tepatnya tiga bapak-bapak itu keasyikan ngobrol, akhirnya kita telat ke aula untuk ngikutin workshop. Hikmahnya. Ada yang gantiin gue jadi dirigen. ahayyy...!! *Salto

Seusai workshop sesi pertama gue kembali ke kamar. Udara mulai menusuk tulang-tulang persendian, pori-pori kulit mulai membesar. Gue menggigil kedinginan. Packing yang super kilat membuat gue lupa membawa jaket atau sweater, dan hasilnya gue nggak bisa tidur semaleman.

Singkat cerita, workshop selesai. Dan yang paling nggak disangka-sangka, setiap peserta workshop dapat amplop yang isinya dua ratus ribu rupiah. Subhanallah, gue dapet rezeki Rp 200.000. Apakah itu kebetulan? Gue mikir agak lama. Gue rasa nggak. Masih inget, gue kasih sopir dengan uang pribadi berapa? Rp 20.000. Besok itu juga sedekah gue diganti sama Allah sepuluh kali lipatnya. Yey. Yang gue sesalkan, kenapa nggak gue kasih seratus ribu aja tuh Pak Sopir. Kalau kasih seratus ribu kan bisa jadi satu juta. Wahh..keren!

Ketemu Kenalan Lama

Cek out dari hotel gue langsung bergegas ke Jogja departement store yang berada di kota Sukabumi. Di tempat inilah gue janjian sama Mas Ikhsan, seorang entrepreneus Sukabumi yang juga memiliki outlet kopi di swalayan tersebut. Ilmu pengetahuan gue mengenai tongkrongan di Sukabumi memang minim, tapi untuk sebuah tempat kongkow-kongkow yang lumayan di Sukabumi yang gue tahu ya Swalayan ini. Mungkin sengaja Mas Ikhsan ngajak ketemuan di sini, selain foodcouartnya memang ramai, mungkin sekalian memperkenalkan aoutlet kopinya.

Kenal Mas Ikhsan sudah lama sebenarnya, kita sama-sama jebolan dari Moslem Millionaire IV Ippho Santosa. Bedanya gue memutuskan untuk menjadi guru di Alkausar (entah dalam waktu berapa lama), sementara beliau terus menggeluti dunia entrepreneurnya.

"Ahmad..!" Suara mas Ikhsan memanggil gue yang hampir beberapa menit celingukan sana-sini di foodcourt itu.

"Halo, Mas apa kabar?" Sapa gue senang. "Wah akhirnya bisa ketemu juga ya"

Mas Ikhsan langsung mengajak gue ke outlet kopinya, dan mempersilahkan gue untuk memesannya.

Menyeruput secangkir kopi, membuat gue teringat teman-teman gue di Jakarta, bukan hanya suasana food court yang ramai itu, tapi pembicaraan mengenai dunia usaha membuat gue ngerasa ada di Jakarta. I'm like home again.

Seketika gue galau, mau dibawa kemana tujuan hidup gue. Apakah selamanya gue terus tinggal di lingkungan asrama. Rasannya seperti mengubur mimpi hidup-hidup. Apakah gue benar-benar di lingkungan yang benar. Apakah STUDIO5 benar-benar bisa besar nanti (semoga di Tangan dingin M.Tulus bisa). Duh gue rindu STUDIO5. Pikiran-pikiran itu terbelesit di sela-sela obrolan gue dengan Mas Ikhsan. Ngobrol dengan Mas Ikhsan sempat memicu jiwa entrepreneur muncul lagi di hati ini. Dan hati gue bilang

"Gue pergi untuk sementara"



SELANJUTNYA >>

Rabu, 02 April 2014

Orang-orang Bertopeng dan Berselimut

Pagi ini Alkausar berkabut. Entah kabut-kabut itu turun sejak pukul berapa tadi. Yang pasti ketika azdan Subuh berkumandang kabut itu sudah mengepul putih membanjiri lingkungan Alka. Putihnya terurai indah di balik-balik pohon dan di atap-atap asrama, dan yang paling menjadi misteri di tempurung otak ini, kenapa kabut-kabut tersebut tidak masuk menyeruak ke dalam asrama tempat di mana saya tinggal. Tidak seperti di rumah di Jakarta yang selalu termasuki asap pembakaran sampah jika tetangga kerap membakar sampah di samping rumah yang bisa membuat saya terbatuk-batuk lantaran asap-asap itu dengan sukses masuk kamar. Kabut itu tetap pada posisinya, mengepul indah di jalan-jalan, di atas pohon, dan di atap asrama. Mungkin faktor suhu kamar dan di luar kamar yang berbeda membuat kabut tidak masuk. Itu pemikiran cetek saya.

Saya terbangun memang terlampau pagi. Bukan kabut itu yang membangunkan saya pagi ini, tetapi suara orang mengaji dipengeras suara  membuyarkan semua mimpi indah namun semu. Rasa malas dan kantuk yang memadu satu menjadi alasan indah untuk terus mengumpat di balik tebal selimut asrama. Atas dasar rasa malu dan tidak enak, kantuk serta malas untuk bergegas ke masjid dan melaksanakan Sholat Subuh hilang. Bukan hanya malu kepada murid-murid di sini yang setiap subuh dipaksa ke masjid tetapi juga kepada Tuhan yang telah menciptakan Adam untuk bumi yang kini menjadi tugas kita untuk meneruskan amanah luhur tersebut yang tidak lain sebagai khalifah di bumi ini.

Saya turun dengan gontai melawan kantuk yang hebat dari kamar menuju masjid. Anak tangga serasa hal yang menyebalkan jika setengah kesadaran saya harus dipaksa konsen menginjak tepat satu anak tangga supaya tidak tergelincir. Rasannya ingin belajar parkour supaya tidak melalui anak tangga yang menyebalkan itu.  Loncat dari kamar ke lobi bahkan ke masjid dengan mudah dan ringan. Jangankan parkour, untuk melangkahkan kaki saja sudah malas luar biasa menembus kabut. Dan berbicara parkour, di alka itu sebenarnya enak untuk belajar parkour, gedung-gedung asrama, kantor, dan sekolah sambung menyambung menjadi satu. Tapi memang sih pepohonannya juga nggak sedikit, nanti bukan keren yang ada kayak monyet sedang kabur diserang warga karena kedapatan mencuri.

Saya terperanjat ketika benar-benar sudah di luar asrama. Saya melihat segerombolan orang-orang berkuda keluar dari kabut tebal yang semakin turun. Tidak begitu jelas jumlah mereka. Tapi pastinya banyak sekali. Suara gaduh ringkik kuda dan derap kaki kuda membumbung tinggi ke angkasa. Saya kaget bukan main, ternyata segerombolan kuda itu mendekati saya. Iya mendekati saya. What?? Orang-orang bercadar penunggang kuda itu mengangkat pedangnya dan terus mendekati saya. Saya mundur beberapa meter kebelakang. Semakin lama penunggang kuda itu semakin banyak, seolah tidak pernah habis keluar dari gumpalan kabut itu. Mereka berteriak mengangkat pedanganya dan siap menebas leher saya. Tidaaaaaakkkk..................................!!!!!





Draaaakkkkkk......................!!!

Saya terkapar di lantai.

Kepala pusing dan seolah bumi berputar.

Baju yang saya kenakan basah akibat cucuran keringat.

(Hening untuk beberapa detik)

Pelan-pelan saya memberanikan membuka mata. Lampu kamar yang semakin redup, gitar, laptop, dan handphone yang tetap pada posisinya. Saya mengangkat kepala dan meletakannya di atas bantal yang ikut terjatuh dari kasur. Saya menutup muka dengan selimut membayangkan muka yang bertopeng 



Sumber gambar :
https://www.facebook.com/note.php?note_id=192157994162264
SELANJUTNYA >>