Orang-orang Bertopeng dan Berselimut
Pagi ini Alkausar berkabut. Entah kabut-kabut itu turun sejak pukul berapa tadi. Yang pasti ketika azdan Subuh berkumandang kabut itu sudah mengepul putih membanjiri lingkungan Alka. Putihnya terurai indah di balik-balik pohon dan di atap-atap asrama, dan yang paling menjadi misteri di tempurung otak ini, kenapa kabut-kabut tersebut tidak masuk menyeruak ke dalam asrama tempat di mana saya tinggal. Tidak seperti di rumah di Jakarta yang selalu termasuki asap pembakaran sampah jika tetangga kerap membakar sampah di samping rumah yang bisa membuat saya terbatuk-batuk lantaran asap-asap itu dengan sukses masuk kamar. Kabut itu tetap pada posisinya, mengepul indah di jalan-jalan, di atas pohon, dan di atap asrama. Mungkin faktor suhu kamar dan di luar kamar yang berbeda membuat kabut tidak masuk. Itu pemikiran cetek saya.
Saya terbangun memang terlampau pagi. Bukan kabut itu yang membangunkan saya pagi ini, tetapi suara orang mengaji dipengeras suara membuyarkan semua mimpi indah namun semu. Rasa malas dan kantuk yang memadu satu menjadi alasan indah untuk terus mengumpat di balik tebal selimut asrama. Atas dasar rasa malu dan tidak enak, kantuk serta malas untuk bergegas ke masjid dan melaksanakan Sholat Subuh hilang. Bukan hanya malu kepada murid-murid di sini yang setiap subuh dipaksa ke masjid tetapi juga kepada Tuhan yang telah menciptakan Adam untuk bumi yang kini menjadi tugas kita untuk meneruskan amanah luhur tersebut yang tidak lain sebagai khalifah di bumi ini.
Saya turun dengan gontai melawan kantuk yang hebat dari kamar menuju masjid. Anak tangga serasa hal yang menyebalkan jika setengah kesadaran saya harus dipaksa konsen menginjak tepat satu anak tangga supaya tidak tergelincir. Rasannya ingin belajar parkour supaya tidak melalui anak tangga yang menyebalkan itu. Loncat dari kamar ke lobi bahkan ke masjid dengan mudah dan ringan. Jangankan parkour, untuk melangkahkan kaki saja sudah malas luar biasa menembus kabut. Dan berbicara parkour, di alka itu sebenarnya enak untuk belajar parkour, gedung-gedung asrama, kantor, dan sekolah sambung menyambung menjadi satu. Tapi memang sih pepohonannya juga nggak sedikit, nanti bukan keren yang ada kayak monyet sedang kabur diserang warga karena kedapatan mencuri.
Saya terperanjat ketika benar-benar sudah di luar asrama. Saya melihat segerombolan orang-orang berkuda keluar dari kabut tebal yang semakin turun. Tidak begitu jelas jumlah mereka. Tapi pastinya banyak sekali. Suara gaduh ringkik kuda dan derap kaki kuda membumbung tinggi ke angkasa. Saya kaget bukan main, ternyata segerombolan kuda itu mendekati saya. Iya mendekati saya. What?? Orang-orang bercadar penunggang kuda itu mengangkat pedangnya dan terus mendekati saya. Saya mundur beberapa meter kebelakang. Semakin lama penunggang kuda itu semakin banyak, seolah tidak pernah habis keluar dari gumpalan kabut itu. Mereka berteriak mengangkat pedanganya dan siap menebas leher saya. Tidaaaaaakkkk..................................!!!!!
Draaaakkkkkk......................!!!
Saya terkapar di lantai.
Kepala pusing dan seolah bumi berputar.
Baju yang saya kenakan basah akibat cucuran keringat.
(Hening untuk beberapa detik)
Pelan-pelan saya memberanikan membuka mata. Lampu kamar yang semakin redup, gitar, laptop, dan handphone yang tetap pada posisinya. Saya mengangkat kepala dan meletakannya di atas bantal yang ikut terjatuh dari kasur. Saya menutup muka dengan selimut membayangkan muka yang bertopeng
Sumber gambar :
https://www.facebook.com/note.php?note_id=192157994162264
Saya terperanjat ketika benar-benar sudah di luar asrama. Saya melihat segerombolan orang-orang berkuda keluar dari kabut tebal yang semakin turun. Tidak begitu jelas jumlah mereka. Tapi pastinya banyak sekali. Suara gaduh ringkik kuda dan derap kaki kuda membumbung tinggi ke angkasa. Saya kaget bukan main, ternyata segerombolan kuda itu mendekati saya. Iya mendekati saya. What?? Orang-orang bercadar penunggang kuda itu mengangkat pedangnya dan terus mendekati saya. Saya mundur beberapa meter kebelakang. Semakin lama penunggang kuda itu semakin banyak, seolah tidak pernah habis keluar dari gumpalan kabut itu. Mereka berteriak mengangkat pedanganya dan siap menebas leher saya. Tidaaaaaakkkk..................................!!!!!
Draaaakkkkkk......................!!!
Saya terkapar di lantai.
Kepala pusing dan seolah bumi berputar.
Baju yang saya kenakan basah akibat cucuran keringat.
(Hening untuk beberapa detik)
Pelan-pelan saya memberanikan membuka mata. Lampu kamar yang semakin redup, gitar, laptop, dan handphone yang tetap pada posisinya. Saya mengangkat kepala dan meletakannya di atas bantal yang ikut terjatuh dari kasur. Saya menutup muka dengan selimut membayangkan muka yang bertopeng
Sumber gambar :
https://www.facebook.com/note.php?note_id=192157994162264
0 komentar :
Posting Komentar