Sabtu, 07 Juni 2014

Mengingat Bapak

Tidak seperti biasanya saya naik bus memilih duduk di bangku yang paling depan. Dari zaman kuliah hingga sekarang ini, duduk di bangku belakang adalah favorite saya. Di bangku belakang itulah saya bisa mengamati orang-orang di depan saya berada. Entah mereka yang sedang menawar minuman dingin di dalam bus, entah mereka yang sedang memilih tempat duduk, atau apapun termasuk beberapa penumpang yang tidak kebagian tempat duduk yang sedang terkantuk kantuk sambil berdiri. Apapun gerak gerik kegiatan di depan saya di dalam bus, tak luput dari sorot mata saya yang kandang menyodorkan persoalan tersendiri dalam tempurung otak ini. 

Malam itu (tanggal 1 Juni 2014) saya memilih duduk di barisan paling depan, persis di sebelah seorang bapak. Dengan nada sopan saya meminta izin untuk permisi duduk di sebelahnya. 

"Silahkan, Mas!" Sambut bapak itu ramah. Saya menyandarkan badan ke bangku bus sambil memangku tas yang berisi laptop kesayangan. 

"Ini lewat ciawi kan, Pak?" Tanya saya kepada bapak itu, memastikan. 

"Iya, benar, Mas. Memang tujuan, Mas mau ke mana?"

"Ke Sukabumi, Pak" 

"Oh, sama. Saya juga mau ke Sukabumi. 

Kira-kira seperti itu percakapan awal kami yang akhirnya berbuntut panjang hingga bus itu benar-benar sampai di Ciawi. (Walaupun faktanya saya lebih banyak terdiam dan cuma manggut-manggut)

Kalau berbicara soal anak, saya rasa bukan hanyak bapak tua di dalam bus itu yang sanggup bercerita panjang sambil penuh semangat. Para bapak di muka bumi ini sudah tentu akan begitu excited jika menceritakan keberhasilan anaknya.

"Alhamdullilah... Anak saya sekarang sudah berhasil semua, Mas."

"Alhamdulillah ya, Pak"

Sepanjang perjalan itu kadang saya mengutuk diri sendiri. Ya, saya teringat bapak, orang tua saya di rumah. Yang sampai saat ini belum bisa saya bahagiakan. Entahlah kebahagiaan macam apa yang bisa saya persembahan untuk beliau. Wajahnya yang penuh kerutan perjalanan hidup, membuat saya paham benar ia adalah sosok lelaki pekerja keras. Semakin saya memandang wajah bapak, semakin saya bersalah.  Terakhir saya melihat wajah bapak penuh kebahagiaan adalah ketika saya berhasil masuk Universitas Negeri, selebihnya pancaran wajah itu tak tampak lagi. Mungkin ia kecewa, namun tak tega ia utarakan. Saya belum bisa seperti apa yang bapak inginkan.

Obrolan di dalam bus membuat saya sadar, bahwa saya sudah terlalu lama hidup dalam kesantaian. Rasa nyaman dan aman adalah jelas musuh kesuksesan saya saat ini.

Semoga saja bapak saya di rumah suatu saat nanti akan meceritakan  kepada pria di dalam bus prihal kebarhasilan saya. Dengan excited dan dengan penuh semangat 45x2 tentunya.

Thanks to bapak tua di dalam bus. Selain menyadarkan saya akan sebuah pencapaian, dirimu juga udah bayarin ongkos Rambutan-Ciawi. Semoga kita bisa ketemu lagi.





0 komentar :

Posting Komentar