Anjir Banjir
Jakarta lagi musim hujan. Hampir tiap hari dan tiap sore hujan senantiasa mengguyur kota yang kalau siang hari penduduknya mencapai 12 juta jiwa ini. Bagi sebagian orang nggak masalah hujan tiap sore gini, apalagi bagi tukang ojeg payung, hujan adalah uang bagi mereka. Tapi bagi gue, apalagi kalau hujannya lama banget redahnya, akses jalanan ke rumah gue sekejap jadi lautan air.
Ya, jalan menuju rumah gue sering banget bajir kalau hujannya nggak ketulungan lebatnya. Seandainya motor gue bisa gue sulap jadi perahu boot sih nggak masalah. Sayang, penciptaan itu hanya ada dipikiran sinting gue.
Ya, itulah sisi lain dari sebuah kota Megapolitan. Kini ia lebih kerap dikenal dengan banjir dan macetnya. Gue angkat topi yang setinggi-tingginya kalau saja Pak Jokowi ternyata bisa mengatasi banjir di Jakarta Ini, terlebih akses menuju rumah gue. (Bapak akan jadi gubernur terhebat sepanjang hidup saya).
Permasalahan banjir bukan hanya hujan sih. Lagian dari zaman Nabi Nuh, banjir itu sudah ada. Banjir lebih disebabkan akibat perbuatan maupun aklak manusia itu sendiri. Banjir menurut gue adalah sebuah pemerataan keadaan. Bbaik kaya maupun miskin tetap saja kena banjir kalau memang ia tinggal di daerah banjir.
Bagi orang dewasa, banjir adalah musibah. Tapi nggak bagi anak-anak di lingkungan gue. Mereka justru orang yang paling menikmati, bahkan sesuatu yang dinanti-nanti kapan banjir datang lagi.
Kalau banjir datang, seketika akses jalan menuju rumah gue berubah menjadi tempat pemandian masal bagi anak-anak. Bukan hanya anak-anak di dekat rumah yang menjadikan banjir menjadi rutinitas renang masal, tetapi anak-anak kampung sebelah juga datang berbondong-bongong hanya untuk berenang secara gratis di jalan itu. Akibat banjir anak-anak malah jadi pandai berenang tanpa harus membayar mahal seorang pelatih renang. Yang kadang kalau ngeliat mereka renang dengan telanjang bulat serta titik ke mana-mana, gue jadi kepikiran ingin kaya mereka juga. Gue akan lebih bahagia sepertinya.
Seorang anak naik ke teras rumah, terus kencing dengan damainya. Setelah kecing ia nyemplung ke air yang bekas ia kencingin. Sinting, gue jadi mikir dua kali untuk menerobos banjir.
Nah, itulah permasalahan gue kenapa kalau hujan datang gue jadi ribeeeeeett, kecuali kalau gue diizinin sama nyokap, boleh gabung sama anak-anak kampung itu, pastinya keribetan gue berkurang.
Ya, jalan menuju rumah gue sering banget bajir kalau hujannya nggak ketulungan lebatnya. Seandainya motor gue bisa gue sulap jadi perahu boot sih nggak masalah. Sayang, penciptaan itu hanya ada dipikiran sinting gue.
Ya, itulah sisi lain dari sebuah kota Megapolitan. Kini ia lebih kerap dikenal dengan banjir dan macetnya. Gue angkat topi yang setinggi-tingginya kalau saja Pak Jokowi ternyata bisa mengatasi banjir di Jakarta Ini, terlebih akses menuju rumah gue. (Bapak akan jadi gubernur terhebat sepanjang hidup saya).
Permasalahan banjir bukan hanya hujan sih. Lagian dari zaman Nabi Nuh, banjir itu sudah ada. Banjir lebih disebabkan akibat perbuatan maupun aklak manusia itu sendiri. Banjir menurut gue adalah sebuah pemerataan keadaan. Bbaik kaya maupun miskin tetap saja kena banjir kalau memang ia tinggal di daerah banjir.
Bagi orang dewasa, banjir adalah musibah. Tapi nggak bagi anak-anak di lingkungan gue. Mereka justru orang yang paling menikmati, bahkan sesuatu yang dinanti-nanti kapan banjir datang lagi.
Kalau banjir datang, seketika akses jalan menuju rumah gue berubah menjadi tempat pemandian masal bagi anak-anak. Bukan hanya anak-anak di dekat rumah yang menjadikan banjir menjadi rutinitas renang masal, tetapi anak-anak kampung sebelah juga datang berbondong-bongong hanya untuk berenang secara gratis di jalan itu. Akibat banjir anak-anak malah jadi pandai berenang tanpa harus membayar mahal seorang pelatih renang. Yang kadang kalau ngeliat mereka renang dengan telanjang bulat serta titik ke mana-mana, gue jadi kepikiran ingin kaya mereka juga. Gue akan lebih bahagia sepertinya.
Seorang anak naik ke teras rumah, terus kencing dengan damainya. Setelah kecing ia nyemplung ke air yang bekas ia kencingin. Sinting, gue jadi mikir dua kali untuk menerobos banjir.
Nah, itulah permasalahan gue kenapa kalau hujan datang gue jadi ribeeeeeett, kecuali kalau gue diizinin sama nyokap, boleh gabung sama anak-anak kampung itu, pastinya keribetan gue berkurang.
0 komentar :
Posting Komentar