Kamis, 28 Februari 2013

Manusia yang Kuat adalah...

Manusia yang kuat adalah manusia yang mampu mengendalikan rasa emosi serta kesabarannya. Bukan semata-mata hanya karena fisik serta otot-otot yang kadang nggak wajar di sekujur tubuhnya.

Saya bukanlah Paul Anderson sang atlet angkat besi terkuat di dunia. Saya juga bukan Arnold Schwarzenegger sang Gubernur California yang ternyata masuk dalam urutan ke lima orang terkuat di dunia. Saya hanya Ahmad Bhadick yang memiliki segala keterbatasan termasuk urusan fisik. Tapi apakah dengan kondisi saya seperti itu, saya mesti meratap meraung-raung menyesali diri? Mungkin sangat beralasan jika saya mau, tentunya. Tapi manusia memiliki kemampuan untuk menentukan pilihannya. Dan saya memilih untuk tidak memanfaatkan alasan picisan semacam itu.

Untuk apa memiliki badan segede Dwayne Johnson (The Rock) tapi emosi gampang kepacing. Kesenggol dikit ngamuk, kesindir dikit marah. Untuk mengendalikan diri saja kadang sulitnya setengah mati, bagaimana mau mengedalikan orang lain.

sumber pic: Googling
Saya rasa Jakarta adalah pilihan yang tepat untuk orang-orang yang ingin belajar segala bentuk kesabaran. Mulai dari sabar menembus kemacetan sampai sabar menunggu janji-janji para wakil rakyat yang terhormat. Tentu saya tidak ingin membahas masalah Jakarta, apalagi soal wakil rakyat. Otak saya sama sekali belum tertarik ke arah itu. Mungkin nanti iya. Tapi entahlah.

Dengan menulis artikel ini sesugguhnya saya ingin mengingatkan diri agar senantiasa selalu bersyukur dengan segala bentuk kekurangan. Jika dalam urusan badan saya serba pas-pasan tentu masih banyak cara untuk melakukan yang terbaik serta memaksimalkan potensi yang saya miliki. Hal yang pertama saya lakukan adalah mengkontrol emosinya saya. Saya kerap kali gagal untuk urusan yang satu itu.

Di rabu malam saya sempat kepancing emosinya akibat kecerobohan mobil Xenia di depan saya. Ia mundur tanpa melihat terlebih dahulu kebelakang. Motor saya hampir saja rengsek jika saya tidak gedor kaca mobil Xenia hitam itu sekuat tenaga. Saya marah besar, padahal motor saya nggak kenapa-napa. Tapi tetap saja saya marah. Puas rasanya memaki supir yang ceroboh itu. Terlebih mimik mukanya terlihat lansung pucat sebagai bentuk ketakutan dan rasa bersalah yang besar.

Belum lagi emosi akibat pelayanan salah satu provider yang kurang disiplin. Bagaimana nggak marah, kenapa  saya mengatri duluan dipanggil belakangan. Alasannya sederhana (Hmmm, lebih tepatnya menyederhanakan permasalahan orang yang belumlah tentu sederhana) nomer antrian saya keselip (Tapi nggak sampe ratusan gitu juga kali, mba)

Atas kejadian-kejadian itu lah ternyata masih banyak yang mesti saya benahi terutama masalah emosi. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya? Jadi menang mana antara orang yang benar-benar kuat dengan orang yang pandai mengontrol emosinya???










 


SELANJUTNYA >>

Minggu, 24 Februari 2013

Alasan Ngeblog

Inilah adalah salah satu alasan gue, kenapa gue jadi sering nulis di blog:

 

 Hasilnya alhamdulillah....... 

DITOLAK. 

Gara-gara di tolak penerbit itulah gue jadi rajin nulis. Pokoknya nulis dan nulis. Memang sih gue sempet drop dan stak dalam menulis. Tapi gara-gara blog, gue mulai start lagi dalam menulis. Blog adalah salah satu wadah yang lumayan banget buat menuangkan semua ide-ide dan gagasan-gagasan dalam menulis menurut gue. Atau paling nggak gue bisa mengasah kemampuan dalam menulis. Karena buat orang-orang semacam gue, menulis adalah kegiatan yang sangat sulit. Rangkaian kata kadang hanya bersemayam di otak, tanpa mampu gue tuangkan dalam bentuk tulisan. Nah, semenjak ada blog, gue begitu mudah menungkan ide-ide atau gagasan-gagasan gue dalam tulisan amburadul semacam ini. Tapi walau amburadul toh ada juga yang baca. Gak percaya? Ini buktinya sekarang lo lagi baca tulisan gue. Hehehe...   

SELANJUTNYA >>

Jumat, 22 Februari 2013

Ada Alasan Kenapa Beralasan

Gue udah jarang banget naik angkot serta makan di pinggiran jalan menikmati seafood atau pecel ayam sambil mengangkat salah satu kaki dengan damainya. Bukan lantaran tingkat ekonomi gue mulai bergeser hingga akhirnya gue lebih seneng nongkrong di kafe atau restoran-restoran cepat saji. Itu sama sekali bukan alasan. Ini prihal kenyamanan itu sendiri.

Dulu gue paling excited kalau ke mana-mana naik kendaraan umum, bisa berinteraksi sama orang banyak. Kalau lagi mujur gue bisa kenalan sama cewek di angkot. Tukeran nomer, endingnya bisa jalan ke Mall. (Ups itu ke alay-an gue yang gak terduga).

Tapi setahun belakangan ini gue jadi lebih banyak di atas motor ketimbang di atas angkot. Mungkin tadi, rasa gak nyaman di angkot yang akhirnya gue mutusin mending naik motor atau taksi sekali pun. Klo hanya sekedar macet bagi gue gak masalah. Justru di tengah kemacetan gue bisa berpikir serta mencari ide-ide segar dari balik jendela angkot. Tapi lain hal klo setiap beberapa menit sekali para pengamen bersiliweran di atas angkot datang dan pergi memuculkan rasa kekhawatiran para penumpang dengan menyaksikan badan mereka penuh tato dan tindikan. Jelas pemandangan seperti ini membuat penumpang gak nyaman. Karena gak sedikit dari para pengamen ini mencari uang dengan memunculkan rasa ngeri orang. Suara nomer tujuh belas bagi mereka.

Begitu juga saat makan di pinggir jalan. Menyantap pecel ayam dengan rakus dan menyeruput teh manis angket adalah hobi yang kerap kali gue lakuin (entah ini hobi atau lantaran ibu jarang masak di rumah). Kalau bosen dengan pecel ayam gue bakal pindah ke sebelahnya ke tempat seafood. Tapi lagi-lagi kenyamanan itu di rusak sama pengamen dan pengemis yang banyak bangeeetttt...

Baru mau gigit ayam ada pengemis dateng. Terpaksa di tunda, kasih receh, pengemis pergi. Oke ayam kembali gue gigit. Belum selesai menyunyah, pengamen dateng. Kali ini gue cuekin. Gue mengangkat tangan, isyarat permohonan maaf. Tapi sial dia gak pergi juga. Terpaksa gue keluarin recehan. Pengamen pergi, tiba-tiba muncul pengemis dengan seorang anak yang digendong dengan muka melas semelas melasnya. Gue ambil receh di tas, stok receh dikantong celana sudah habis. Pengemis pergi, pengamen yang berbeda dateng. Kali ini tiga remaja tanggung dengan gitar kecil dan biola usang bernyanyi tanpa dosa dan sok enak. Pengamen pergi, pengemis dateng. Pengemis pergi pengamen dateng. Terus gitu sampe gue gak makan-makan tuh pecel ayam. Aaaaaaahhhhggg!!!

Itulah akhirnya kenapa sekarang gue lebih banyak di kafe atau di mekdi. Secara di sini selain gak ada pengamen gue bisa wifi-an gratis, walau pun terkadang gue cuma beli minum doang.




SELANJUTNYA >>

Rasa Hormat yang Mulai Bergeser


Sebagai seorang pengajar kesabaran kerap kali teruji. Ada aja kelakuan anak yang menyebalkan. Dari mulai tidur di atas meja dengan posisi telentang sambil mangap, sampe murid yang autis sama ipadnya tanpa peduli klo guru sudah dateng. Belum lagi murid yang sibuk sama blackberrynya. (Kayanya lagi sibuk bikin hoax yang siap di BC keseluruh contact BBnya).

Atas kejadian itu kadang gue mikir dan mulai flashback kembali ke masa saat gue sekolah dulu.(Takut-takut ini karma buat gue). Tapi gagal. Gue sama sekali gak nemuin masa sekolah gue se-cuek anak-anak sekarang terhadap gurunya. Gue hormat sama guru. Gue takut sama guru. Kebandelan gue cukup gue tunjukin sama temen-temen tanpa guru harus tau.

Apakah rasa hormat terhadap orang yang lebih tua mulai luntur di zaman sinting sekarang ini?. Terlebih terhadap seorang guru yang jasa-jasanya nggak diragukan lagi. Yang dapat mencetak seorang anak menjadi seperti Obama, Sukarno, bahkan Ahmadinejad dari Iran.

Apakah media sosial yang membuat seseorang menjadi anti sosial (ironis). Banyak orang sibuk dengan dunia maya tanpa peduli dunia nyata. Apa jadinya kalau di dalam kelas semua murid gak peduli lagi terhadap gurunya lantaran peduli cuma sama blackberrynya, ipadnya, dan foto-foto alaynya. Ia sibuk cekakak-cekikikan sama temen dunia mayanya. Buat apa mereka repot-repot bangun pagi dan bermacet-macetan ke sekolah klo akhirnya cuma tidur di sekolah. Login twitter. Sibuk upload foto ke facebook. *Itu bisa lo lakuin di rumah sambil nungging, Man

Awalnya gue berpikir mungkin klo murid cuek sama guru itu lantaran gurunya sendiri yang nggak tegas. Atau akibat dari gurunya sendiri yang cuek terhadap kecuekan mereka. Tapi belakangan ini pendapat gue keliru. Teori ini gak berlaku buat sekolah yang tengah gue ajar murid-muridnya. Murid nampaknya lebih hormat dengan guru galak. Hey, apa jadinya sekolah klo semuanya gurunya galaaak. Duh ribet. *Ini rasa hormat yang menipu. Mereka hanya takut. Bukan hormat.

Berikut ini salah satu dialog gue sama murid ketika gue tegor saat ia lagi sibuk dengan ipadnya. Sebut saja namanya Jono.

"Jon, ipadnya tolong disimpen dong, kita mau belajar nih."
"Woles aja napa, kak"
*Gue sabar
"Klo gak disimpen saya ambil ya. Kecuali klo kamu ngerti gapapa deh" Gue coba bernegoisasi
"Saya nggak mau kaya gayus ,kak"
"Maksudnya?"
"Gayus kan waktu sekolah pinter, eh pas udah kerja korupsi. Nah, karena saya gak mau kaya Gayus, makanya saya gak mau pinter"
"Walaupun gak pinter tapi paling gak, kamu punya rasa hormat dong sama orang"
Jono dengan terpaksa memasukan ipadnya ke kolong meja

 Ini real sebuah pendidikan di kota-kota besar. Pengaruh apa semua ini. Indonesia gak begini. Rasa hormat mulai luntur entah ke mana. Dulu Indonesia dapat dibanggakan soal pendidikannya. Banyak negara tetangga belajar dari kita. Tapi saat ini?

Dulu kesopanan orang Indonesia dapat diajungkan jempol oleh seluruh pelosok dunia. Tapi saat ini?

Dulu sosok guru adalah sosok yang begitu mulia di mata murid. Tapi saat ini?

Seharusnya sekolah adalah tempat penetralan semua lingkupan. Baik miskin maupun kaya, di sekolah sama. Semuanya punya hak dan kewajiban yang sama. Semua pake seragam yang sama, masuk dan pulang dijam yang sama.
Yang biasa di rumah ceuk, seharus tidak berlaku di sekolah. Yang di rumah egois, seharusnya melebur di sekolah. Yang biasa seenak jidat di rumah, seharus gak usah di bawa ke sekolah. Sekolah adalah pabrik untuk tempat-tempat orang intelek, di mana kesopanan mesti dijunjung tinggi. Tempat orang-orang cerdas dalam memperlakukan ego nya.

Mari kita amini bareng-bareng, semoga bangsa ini menjadi bangsa yang penuh orang-orang yang saling menghormati, menjadi bangsa yang cerdas dalam bertindak, menjadi bangsa yang gak seenak jidat dalam berbuat.

Semoga tidak ada lagi murid yang kebablasan bertindak.





SELANJUTNYA >>

Kamis, 07 Februari 2013

Foto salah gaya

Gue lagi nggak sengaja liat foto-foto gue di laptop. Mau ngerapihin file niatnya.  Eh ternyata ada beberapa foto yang menurut gue nggak banget. Tapi karena gue lagi nggak ada ide mau posting apa, jadi gue masukin foto-foto aneh ini di postingan gue. Hahaha....siap-siap muntah.
 Dan lo tau? Ternyata bergaya di depan kamera itu ribeeeeettt buat gue. (Mungkin ini faktor muka juga kali ya?...Hahaha gak tau diri) Aaaaaaaaaggghhhh.......!!!!!!

Foto 1: Duh kaya busung lapar gini gue. Niatnya sih mau cool gitu.Uhuk..uhuk...

Foto 2: Gue bener-bener lupa pas di foto ini niatnya mau gaya apa. Gaya sama muka nggak matching banget. Kok malah keliatan sensual gini gaya gue. Tidaaaaaaaaakkkkk..

 Foto 3:Nah ini lagi. Apa-apaan ini. Gagal segagal gagalnya.

Nah klo foto yang berikut ini, gue udah bener-bener terkenal virus ababil. Mau makan aja mesti foto-foto dulu. Hoy sebelum makan itu berdoa, malah foto-foto.

Begeto lah arsip foto gue yang salah gaya dan salah tempat. Semoga kalian tidak mengikuti jejak gue. Kwkwkwkw......

Pesen gue. Jangan maksa gaya klo gak bisa bergaya....


SELANJUTNYA >>

Rabu, 06 Februari 2013

Jangan Biarkan Perasaan Berlalu

Apakah kita pernah menyesal?
Apakah masih ada sebuah perasaan di hati yang kerap menyalahkan diri sendiri?
Apakah rasa kecewa senantiasa hadir ketika pengharapan  itu justru makin besar?

========
Sebagai seorang manusia sudah pasti gue pernah suka sama orang. Terkadang rasa suka itu lebih besar ketimbang keberanian itu sendiri dalam mengutarakannya. Hasilnya gue hanya menikmati semua itu dari sisi gelap gue.

Gue kerap kali membiarkan perasaan itu hilang dengan sendirinya tergerus waktu. Perasaan yang tidak diutarakan ternyata memiliki titik jenuh tersendiri buat gue. Terlalu lama memendam perasaan, membuat perasaan itu hilang dengan sendirinya.  Hal inilah yang membuat gue mudah mencintai mudah melupakan.
 
Masa berbunga-bunga itu kini telah lewat begitu aja terbungkus penyesalan gue sendiri. Bagaimana tidak, keberanian itu mengecil justru ketika rasa suka mulai membesar. Hado repooottt...

Perasaan suka yang udah di ubun-ubun kepala namun tersendat di bibir adalah hal yang paling menyengsarakan diri. Kaya mau bersin tapi nggak bersin-bersin. (Duh, ini jenis flu apa ya?)

Entahlah udah berapa kali gue suka sama orang tapi membiarkan orang itu berlalu begitu saja dalam perasaan ini.  Yang kadang bikin ngenes, gebetan gue jadian sama orang yang levelnya di bawah gue (ngenes yang terlalu pede). Kekalahan gue sama orang itu hanya terletak pada keberanian.

"Berarti lo nggak bener-bener mencintai dia dong Dik" Kata seorang temen dengan santainya tapi lumayan jleb di dada gue.
"Bukan gitu" Jawab gue seadanya
"Lho, iya dong. Klo lo bener-bener suka sama tuh orang, pastinya lo memperjuangkannya. Sampe titik darah terakhir, klo bisa" Temen gue mulai menyudutkan. Tapi terdengar lebay di kuping gue.
"Maksud gue. Gue belum dapet cara aja buat ngutarain perasaan gue ini"  Gue mulai ngeles kaya bajaj.
"Sampe kapan lo cari cara. Emang ada cara terbaik buat ngungkapin perasaan seseorang? Bisa jadi cara lo kampungan, tapi belum tentu buat orang yang lo tembak"
"Iya, sih" Kesalahan gue mulai terkoreksi. "Terus gue harus gimana dong?" Mendadak gue bego seratus delapan puluh derajat.
"Ya, besok-besok klo suka sama orang, ya diungkapkanlah. Jangan sampe lo keduluan lagi sama orang lain".
 *hening* *jleb* *tertampar*

Bener-bener menohok omongan temen gue. Gue jadi mikir, terkadang kebenaran itu menyakitkan, yang sulit untuk dijawab dengan kata 'iya'

Tapi sejauh ini gue percaya. Jika Tuhan mengizinkan, tentunya ada cara tersendiri yang bisa jadi di luar cara gue itu. Cinta itu begini kok, bukan begitu (Kode. Cerna sendiri ya. Ini nanti gue jadiin quis. Hehe).
Kesalahan gue emang udah jelas. Ketakutan gue ternyata mengkerdilkan pemikiran gue sendiri. Membatasi tindakan, mengeruhkan bibir. Hasilnya perasaan yang sudah di ubun-ubun kepala ini tak tersalurkan. Ngomong I Love You itu susah banget ternyataaaaaa.... *loncat dari lantai 13*

Oke. Baiklah. Ini udah 2013. Rasa galau itu mestinya mulai dikikis dikit demi sedikit. Kesalahan itu diperbaikin bukan disesali.

Mari kita mulai menjadi pribadi yang mau memaafkan kesalahn diri sendiri.
Mulai menyadari bahwa seorang manusia itu tidak luput dari kesalahan.
Teruslah berjuang menghindari kesalahan yang berulang.

Jadi intinya, mulailah menaklukan ketakutan diri. Gue tau, susah emang buat ngungkapin perasaan. Karena terlalu mudah pun gak baik. Jadi di dalam susah itulah perjuangan dibutuhkan. Kalau pun hasilnya sebuah penolakan, toh tetep kita telah memenangkan dalam hal menaklukan rasa takut. Perasaan pun jadi legah pastinya karena telah terungkapkan.

"Terus jadi gimana kabar gebetan lo, Dik?"
*die*

 

 
SELANJUTNYA >>

Selasa, 05 Februari 2013

Sebuah kode untuk manusia penikmat duit

Kalau ngebayangin sekolah, yang terlintas di otak gue adalah kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Para siswa yang cekakak-cekikikan ketika istirahat berlangsung. Atau lapangan sekolah yang penuh jeritan siswa yang tengah berolahraga lantaran berebutan bola.
Belum lagi jika jam pelajaran telah usai, mendadak parkiran motor gaduh segaduh gaduhnya. Semua serempak menyalahkan motor. Menarik gas berbarengan. Saling sodok kepingin buru-buru pulang. Suara bising knalpot langsung membumbung ke langit seketika. Tidaaaakkkk....!!! Body motor gue pada leceeett!!!

Tapi tenang. Semua itu nggak akan bisa lo temuin kalau pas hari minggu lo dateng ke sekolahnya.
Ya iyalah nenek-nenek ngesot pake poni juga tau, yang namanya hari minggu, sekolah libur. Yang namanya libur, pasti gak ada siswanya. Klo gak ada siswanya, ya sekolah sepi lah, gak jauh beda sama kuburan.

Dan yang pasti kalau kondisi sekolah sepi, bukan hanya siswa yang seneng lantaran sekolahnya diliburin, tapi juga penjaga sekolahnya. Dia mendadak seperti keluar dari sebuah kepenatan hebat setiap minggunya. Bahkan ia bisa bagaikan pemilik rumah tunggal dengan ketenangan yang semu di kala hari minggu datang. Ia juga bisa berleha-leha santai menyaksikan ikan-ikan kecil di kolam sekolah itu. Menikmati tanaman-tanaman obat karya siswa dan guru biologi di sepanjang kebun sekolah. Atau bermain bulu tangkis, volly, basket bersama keluarganya di lapangan sekolah dengan penuh suka cita. Sepertinya ini bakalan jauh lebih asri ketimbang perumahan mewah di Kota Wisata atau di Legenda Cibubur.

Tapi sayang, penyutradaraan itu hanya ada di otak gue doang. Kenyataannya ketika hari minggu gue coba datang ke sekolah, yang gue liat malah banyak pakaian-pakaian serta kasur di lapangan yang sengaja di jemur oleh penjaga sekolahnya. Si penjaga sekolah itu sendiri malah terlihat sibuk mengepak-ngepakin kertas yang sudah gak kepake lagi sama sekolah untuk secepatnya di kiloin menjadi duit. Rupanya gak semua orang bisa benar-benar menikmati keindahan walaupun keindahan itu sendiri ada disekitarnya.
Tau apa gue soal ke indahan toh kalau ternyata urusan perut itu jauh lebih penting ketimbang urusan mata. Iya, ya *hening

Kasus seperti itu juga bukan hanya gue liat di sekolah, tapi juga ketika gue pergi ke vila teman di kawasan puncak. Cuma bermodalkan alamat dan kunci vila gue langsung meluncur ke lokasi tersebut.

"Sori ya gue gak bisa ikut. Nih kunci sama alamatnya"
"Loh, emang gak ada yang nungguin vilanya?"
"Ada. Ini buat jaga-jaga aja. Takutnya pas lo dateng Mang Asepnya lagi pergi. Tapi udah gue telepon kok, klo lo mau dateng"
"Oh gitu. Ya sudah. Bailah!" Gue langsung melempar kunci ke udara saking excitednya. Gue bakalan liburan di puncak Men. *hening lagi

Sampai di sana gue takjub dengan suasana yang indah serta gaya artistik vila tersebut. Belum lagi kolam renang yang menawan, seolah-olah tengah melambaikan tangannya untuk menyuruh gue nyemplung ke kolam renang yang terlihat membiru itu.

Gue pikir enak banget jadi penjaga vila di sini, bisa kapan aja nyemplung sesuka hatinya. Udah di gaji, dapet tempat tinggal tanpa ngontrak pula, bisa menikmati udara segar dan pemandangan indah kapanpun.
Every daaaay and every tiiiiiimmmmmmee.

Tapi, lagi-lagi ironis. Mang Asep penjaga vila itu boro-boro buat nyemplung ke kolam renang. Ia bahkan lupa kalau suasana di vila itu indah. Ia juga gak sadar klo udara yang ia hirup begitu mahal yang kerap kali didamba oleh penghuni kota-kota besar seperti Jakarta.
Ternyata baginya ada yang lebih utama ketimbang soal ke indahan dan udara yang segar. Yap! Perutnya sendiri.

Ketika gue nyampe di vila itu, Mang Asep lagi sibuk metikin kelapa di belakang vila itu, yang katanya mau di jual ke pasar di dekat-dekat daerah itu.
Itu tiap hari lho katanya. Dari pertama kali ia menginjakan kaki di vila tersebut. Entah kelapa, entah rambutan. Pokonya semua buah-buahan yang ada di kebun belakang vila itu kerap kali dijualnya ke pasar.

Ketika ia pertama kali disuruh menjaga vila itu, yang ia lihat bukan soal ke indahan dan kemegahan vila itu, tapi ia lebih melihat banyaknya tanaman buah-buahan di belakang vila itu yang bisa ia jadikan duit.*Lumayan buat tambahan menopang hidup. Walau sebenernya gaji sebagai penjaga vila juga udah cukup. Mang Asep kaya PNS, udah dapat gaji malah sibuk nyari tambahan di luar kerjaannya.

Iya juga sih itu lebih realistis..hehe.
Ya, manusia gak akan pernah cukupnya klo ngomongin duit.

Perut ini membutakan segalanya ya. Ternyata bukan hanya cinta yang membuat buta segalanya. *uhuk uhuk..!!
Bahkan lantaran perut juga orang lupa kalau korupsi itu perbuatan keji yang dapat mengisap darah saudaranya sendiri.
Perut ini memang berukuran kecil tapi jangan salah, ia memiliki tuntutan besar. Makanya banyak orang yang lebih mementingkan perut ketimbang hal lain di luar itu.  Belum lagi jika ia mesti mengurusi perut lagi selain perutnya sendiri. Duh, repot ini.
Sebenernya kalimat "uang tidak kenal saudara" mestinya di ganti jadi "perut tidak kenal saudara"

Jadi mudah saja, jika kita mau melihat isi dompet seseorang, tinggal liat aja bagaimana perutnya. *Maaf bapak polisi yang gendut, saya tidak sedang menyindir Anda kok. Cuma saya heran aja kenapa saya di tilang cuma lantaran saya nannya alamat sama Bapak. Lagian posisi Bapak di situ sih, jadi saya samperin ke situ juga yang ternyata tempat yang gak boleh dilalui kendaraan (Lah kok gue malah curhaaatt...)
SELANJUTNYA >>