Manusia yang Kuat adalah...
Manusia yang kuat adalah manusia yang mampu mengendalikan rasa emosi serta kesabarannya. Bukan semata-mata hanya karena fisik serta otot-otot yang kadang nggak wajar di sekujur tubuhnya.
Saya bukanlah Paul Anderson sang atlet angkat besi terkuat di dunia. Saya juga bukan Arnold Schwarzenegger sang Gubernur California yang ternyata masuk dalam urutan ke lima orang terkuat di dunia. Saya hanya Ahmad Bhadick yang memiliki segala keterbatasan termasuk urusan fisik. Tapi apakah dengan kondisi saya seperti itu, saya mesti meratap meraung-raung menyesali diri? Mungkin sangat beralasan jika saya mau, tentunya. Tapi manusia memiliki kemampuan untuk menentukan pilihannya. Dan saya memilih untuk tidak memanfaatkan alasan picisan semacam itu.
Untuk apa memiliki badan segede Dwayne Johnson (The Rock) tapi emosi gampang kepacing. Kesenggol dikit ngamuk, kesindir dikit marah. Untuk mengendalikan diri saja kadang sulitnya setengah mati, bagaimana mau mengedalikan orang lain.
Saya rasa Jakarta adalah pilihan yang tepat untuk orang-orang yang ingin belajar segala bentuk kesabaran. Mulai dari sabar menembus kemacetan sampai sabar menunggu janji-janji para wakil rakyat yang terhormat. Tentu saya tidak ingin membahas masalah Jakarta, apalagi soal wakil rakyat. Otak saya sama sekali belum tertarik ke arah itu. Mungkin nanti iya. Tapi entahlah.
Dengan menulis artikel ini sesugguhnya saya ingin mengingatkan diri agar senantiasa selalu bersyukur dengan segala bentuk kekurangan. Jika dalam urusan badan saya serba pas-pasan tentu masih banyak cara untuk melakukan yang terbaik serta memaksimalkan potensi yang saya miliki. Hal yang pertama saya lakukan adalah mengkontrol emosinya saya. Saya kerap kali gagal untuk urusan yang satu itu.
Di rabu malam saya sempat kepancing emosinya akibat kecerobohan mobil Xenia di depan saya. Ia mundur tanpa melihat terlebih dahulu kebelakang. Motor saya hampir saja rengsek jika saya tidak gedor kaca mobil Xenia hitam itu sekuat tenaga. Saya marah besar, padahal motor saya nggak kenapa-napa. Tapi tetap saja saya marah. Puas rasanya memaki supir yang ceroboh itu. Terlebih mimik mukanya terlihat lansung pucat sebagai bentuk ketakutan dan rasa bersalah yang besar.
Belum lagi emosi akibat pelayanan salah satu provider yang kurang disiplin. Bagaimana nggak marah, kenapa saya mengatri duluan dipanggil belakangan. Alasannya sederhana (Hmmm, lebih tepatnya menyederhanakan permasalahan orang yang belumlah tentu sederhana) nomer antrian saya keselip (Tapi nggak sampe ratusan gitu juga kali, mba)
Atas kejadian-kejadian itu lah ternyata masih banyak yang mesti saya benahi terutama masalah emosi. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya? Jadi menang mana antara orang yang benar-benar kuat dengan orang yang pandai mengontrol emosinya???
SELANJUTNYA >>
Saya bukanlah Paul Anderson sang atlet angkat besi terkuat di dunia. Saya juga bukan Arnold Schwarzenegger sang Gubernur California yang ternyata masuk dalam urutan ke lima orang terkuat di dunia. Saya hanya Ahmad Bhadick yang memiliki segala keterbatasan termasuk urusan fisik. Tapi apakah dengan kondisi saya seperti itu, saya mesti meratap meraung-raung menyesali diri? Mungkin sangat beralasan jika saya mau, tentunya. Tapi manusia memiliki kemampuan untuk menentukan pilihannya. Dan saya memilih untuk tidak memanfaatkan alasan picisan semacam itu.
Untuk apa memiliki badan segede Dwayne Johnson (The Rock) tapi emosi gampang kepacing. Kesenggol dikit ngamuk, kesindir dikit marah. Untuk mengendalikan diri saja kadang sulitnya setengah mati, bagaimana mau mengedalikan orang lain.
sumber pic: Googling |
Dengan menulis artikel ini sesugguhnya saya ingin mengingatkan diri agar senantiasa selalu bersyukur dengan segala bentuk kekurangan. Jika dalam urusan badan saya serba pas-pasan tentu masih banyak cara untuk melakukan yang terbaik serta memaksimalkan potensi yang saya miliki. Hal yang pertama saya lakukan adalah mengkontrol emosinya saya. Saya kerap kali gagal untuk urusan yang satu itu.
Di rabu malam saya sempat kepancing emosinya akibat kecerobohan mobil Xenia di depan saya. Ia mundur tanpa melihat terlebih dahulu kebelakang. Motor saya hampir saja rengsek jika saya tidak gedor kaca mobil Xenia hitam itu sekuat tenaga. Saya marah besar, padahal motor saya nggak kenapa-napa. Tapi tetap saja saya marah. Puas rasanya memaki supir yang ceroboh itu. Terlebih mimik mukanya terlihat lansung pucat sebagai bentuk ketakutan dan rasa bersalah yang besar.
Belum lagi emosi akibat pelayanan salah satu provider yang kurang disiplin. Bagaimana nggak marah, kenapa saya mengatri duluan dipanggil belakangan. Alasannya sederhana (Hmmm, lebih tepatnya menyederhanakan permasalahan orang yang belumlah tentu sederhana) nomer antrian saya keselip (Tapi nggak sampe ratusan gitu juga kali, mba)
Atas kejadian-kejadian itu lah ternyata masih banyak yang mesti saya benahi terutama masalah emosi. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya? Jadi menang mana antara orang yang benar-benar kuat dengan orang yang pandai mengontrol emosinya???