Jumat, 22 Februari 2013

Ada Alasan Kenapa Beralasan

Gue udah jarang banget naik angkot serta makan di pinggiran jalan menikmati seafood atau pecel ayam sambil mengangkat salah satu kaki dengan damainya. Bukan lantaran tingkat ekonomi gue mulai bergeser hingga akhirnya gue lebih seneng nongkrong di kafe atau restoran-restoran cepat saji. Itu sama sekali bukan alasan. Ini prihal kenyamanan itu sendiri.

Dulu gue paling excited kalau ke mana-mana naik kendaraan umum, bisa berinteraksi sama orang banyak. Kalau lagi mujur gue bisa kenalan sama cewek di angkot. Tukeran nomer, endingnya bisa jalan ke Mall. (Ups itu ke alay-an gue yang gak terduga).

Tapi setahun belakangan ini gue jadi lebih banyak di atas motor ketimbang di atas angkot. Mungkin tadi, rasa gak nyaman di angkot yang akhirnya gue mutusin mending naik motor atau taksi sekali pun. Klo hanya sekedar macet bagi gue gak masalah. Justru di tengah kemacetan gue bisa berpikir serta mencari ide-ide segar dari balik jendela angkot. Tapi lain hal klo setiap beberapa menit sekali para pengamen bersiliweran di atas angkot datang dan pergi memuculkan rasa kekhawatiran para penumpang dengan menyaksikan badan mereka penuh tato dan tindikan. Jelas pemandangan seperti ini membuat penumpang gak nyaman. Karena gak sedikit dari para pengamen ini mencari uang dengan memunculkan rasa ngeri orang. Suara nomer tujuh belas bagi mereka.

Begitu juga saat makan di pinggir jalan. Menyantap pecel ayam dengan rakus dan menyeruput teh manis angket adalah hobi yang kerap kali gue lakuin (entah ini hobi atau lantaran ibu jarang masak di rumah). Kalau bosen dengan pecel ayam gue bakal pindah ke sebelahnya ke tempat seafood. Tapi lagi-lagi kenyamanan itu di rusak sama pengamen dan pengemis yang banyak bangeeetttt...

Baru mau gigit ayam ada pengemis dateng. Terpaksa di tunda, kasih receh, pengemis pergi. Oke ayam kembali gue gigit. Belum selesai menyunyah, pengamen dateng. Kali ini gue cuekin. Gue mengangkat tangan, isyarat permohonan maaf. Tapi sial dia gak pergi juga. Terpaksa gue keluarin recehan. Pengamen pergi, tiba-tiba muncul pengemis dengan seorang anak yang digendong dengan muka melas semelas melasnya. Gue ambil receh di tas, stok receh dikantong celana sudah habis. Pengemis pergi, pengamen yang berbeda dateng. Kali ini tiga remaja tanggung dengan gitar kecil dan biola usang bernyanyi tanpa dosa dan sok enak. Pengamen pergi, pengemis dateng. Pengemis pergi pengamen dateng. Terus gitu sampe gue gak makan-makan tuh pecel ayam. Aaaaaaahhhhggg!!!

Itulah akhirnya kenapa sekarang gue lebih banyak di kafe atau di mekdi. Secara di sini selain gak ada pengamen gue bisa wifi-an gratis, walau pun terkadang gue cuma beli minum doang.




0 komentar :

Posting Komentar