Selasa, 05 Februari 2013

Sebuah kode untuk manusia penikmat duit

Kalau ngebayangin sekolah, yang terlintas di otak gue adalah kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Para siswa yang cekakak-cekikikan ketika istirahat berlangsung. Atau lapangan sekolah yang penuh jeritan siswa yang tengah berolahraga lantaran berebutan bola.
Belum lagi jika jam pelajaran telah usai, mendadak parkiran motor gaduh segaduh gaduhnya. Semua serempak menyalahkan motor. Menarik gas berbarengan. Saling sodok kepingin buru-buru pulang. Suara bising knalpot langsung membumbung ke langit seketika. Tidaaaakkkk....!!! Body motor gue pada leceeett!!!

Tapi tenang. Semua itu nggak akan bisa lo temuin kalau pas hari minggu lo dateng ke sekolahnya.
Ya iyalah nenek-nenek ngesot pake poni juga tau, yang namanya hari minggu, sekolah libur. Yang namanya libur, pasti gak ada siswanya. Klo gak ada siswanya, ya sekolah sepi lah, gak jauh beda sama kuburan.

Dan yang pasti kalau kondisi sekolah sepi, bukan hanya siswa yang seneng lantaran sekolahnya diliburin, tapi juga penjaga sekolahnya. Dia mendadak seperti keluar dari sebuah kepenatan hebat setiap minggunya. Bahkan ia bisa bagaikan pemilik rumah tunggal dengan ketenangan yang semu di kala hari minggu datang. Ia juga bisa berleha-leha santai menyaksikan ikan-ikan kecil di kolam sekolah itu. Menikmati tanaman-tanaman obat karya siswa dan guru biologi di sepanjang kebun sekolah. Atau bermain bulu tangkis, volly, basket bersama keluarganya di lapangan sekolah dengan penuh suka cita. Sepertinya ini bakalan jauh lebih asri ketimbang perumahan mewah di Kota Wisata atau di Legenda Cibubur.

Tapi sayang, penyutradaraan itu hanya ada di otak gue doang. Kenyataannya ketika hari minggu gue coba datang ke sekolah, yang gue liat malah banyak pakaian-pakaian serta kasur di lapangan yang sengaja di jemur oleh penjaga sekolahnya. Si penjaga sekolah itu sendiri malah terlihat sibuk mengepak-ngepakin kertas yang sudah gak kepake lagi sama sekolah untuk secepatnya di kiloin menjadi duit. Rupanya gak semua orang bisa benar-benar menikmati keindahan walaupun keindahan itu sendiri ada disekitarnya.
Tau apa gue soal ke indahan toh kalau ternyata urusan perut itu jauh lebih penting ketimbang urusan mata. Iya, ya *hening

Kasus seperti itu juga bukan hanya gue liat di sekolah, tapi juga ketika gue pergi ke vila teman di kawasan puncak. Cuma bermodalkan alamat dan kunci vila gue langsung meluncur ke lokasi tersebut.

"Sori ya gue gak bisa ikut. Nih kunci sama alamatnya"
"Loh, emang gak ada yang nungguin vilanya?"
"Ada. Ini buat jaga-jaga aja. Takutnya pas lo dateng Mang Asepnya lagi pergi. Tapi udah gue telepon kok, klo lo mau dateng"
"Oh gitu. Ya sudah. Bailah!" Gue langsung melempar kunci ke udara saking excitednya. Gue bakalan liburan di puncak Men. *hening lagi

Sampai di sana gue takjub dengan suasana yang indah serta gaya artistik vila tersebut. Belum lagi kolam renang yang menawan, seolah-olah tengah melambaikan tangannya untuk menyuruh gue nyemplung ke kolam renang yang terlihat membiru itu.

Gue pikir enak banget jadi penjaga vila di sini, bisa kapan aja nyemplung sesuka hatinya. Udah di gaji, dapet tempat tinggal tanpa ngontrak pula, bisa menikmati udara segar dan pemandangan indah kapanpun.
Every daaaay and every tiiiiiimmmmmmee.

Tapi, lagi-lagi ironis. Mang Asep penjaga vila itu boro-boro buat nyemplung ke kolam renang. Ia bahkan lupa kalau suasana di vila itu indah. Ia juga gak sadar klo udara yang ia hirup begitu mahal yang kerap kali didamba oleh penghuni kota-kota besar seperti Jakarta.
Ternyata baginya ada yang lebih utama ketimbang soal ke indahan dan udara yang segar. Yap! Perutnya sendiri.

Ketika gue nyampe di vila itu, Mang Asep lagi sibuk metikin kelapa di belakang vila itu, yang katanya mau di jual ke pasar di dekat-dekat daerah itu.
Itu tiap hari lho katanya. Dari pertama kali ia menginjakan kaki di vila tersebut. Entah kelapa, entah rambutan. Pokonya semua buah-buahan yang ada di kebun belakang vila itu kerap kali dijualnya ke pasar.

Ketika ia pertama kali disuruh menjaga vila itu, yang ia lihat bukan soal ke indahan dan kemegahan vila itu, tapi ia lebih melihat banyaknya tanaman buah-buahan di belakang vila itu yang bisa ia jadikan duit.*Lumayan buat tambahan menopang hidup. Walau sebenernya gaji sebagai penjaga vila juga udah cukup. Mang Asep kaya PNS, udah dapat gaji malah sibuk nyari tambahan di luar kerjaannya.

Iya juga sih itu lebih realistis..hehe.
Ya, manusia gak akan pernah cukupnya klo ngomongin duit.

Perut ini membutakan segalanya ya. Ternyata bukan hanya cinta yang membuat buta segalanya. *uhuk uhuk..!!
Bahkan lantaran perut juga orang lupa kalau korupsi itu perbuatan keji yang dapat mengisap darah saudaranya sendiri.
Perut ini memang berukuran kecil tapi jangan salah, ia memiliki tuntutan besar. Makanya banyak orang yang lebih mementingkan perut ketimbang hal lain di luar itu.  Belum lagi jika ia mesti mengurusi perut lagi selain perutnya sendiri. Duh, repot ini.
Sebenernya kalimat "uang tidak kenal saudara" mestinya di ganti jadi "perut tidak kenal saudara"

Jadi mudah saja, jika kita mau melihat isi dompet seseorang, tinggal liat aja bagaimana perutnya. *Maaf bapak polisi yang gendut, saya tidak sedang menyindir Anda kok. Cuma saya heran aja kenapa saya di tilang cuma lantaran saya nannya alamat sama Bapak. Lagian posisi Bapak di situ sih, jadi saya samperin ke situ juga yang ternyata tempat yang gak boleh dilalui kendaraan (Lah kok gue malah curhaaatt...)

0 komentar :

Posting Komentar