Sabtu, 18 Oktober 2014

Pria Idaman Wanita

Sebut aja namanya Darto seorang anak muda dengan badan kurus muka tirus. Ia begitu menggilai Reni wanita idamanya. Demi Reni, Darto rela melakukan apa saja buat wanita gebetannya itu. Menemani Reni belanja, menjemput dan mengantar pulang ke rumah. Beda-beda tipis sama tukang ojeg. Makan dan nonton selalu Darto yang bayar. Segalanya Darto lakukan hanya untuk agar Reni mengetahui kalo Darto adalah pria yang baik, terutama terhadap dirinya. Ia merasa yakin dengan begitu Reni bisa ia dapatkan.

Faktanya? Di belakang Darto, Reni selalu jalan dengan preman pasar Tanah Abang yang memiliki banyak tato di sekujur tubuhnya. Yang menyedihkan, Renilah yang mengejar-ngejar preman itu, bahkan hampir mirip yang Darto lakukan kepadanya. Jika makan di warteg, Reni yang selalu bayar. Reni selalu nyamperin mas-mas preman itu ke tempat di mana dia mangkal.(Damn.. Kayak FTV ya)

This is not fair. Kenapa bisa begitu?

Itulah uniknya seorang wanita, sehingga kadang kita (seorang pria) sulit membedakan mana baik mana guooblook..

Apakah lo tau yang bikin wanita tertarik sama laki-laki?

Ganteng? Tajir? Nggak seratus persen bener, bro..

Mas-mas preman yang dideketi Reni jelas nggak tajir apalagi ganteng. Terus apa yang membuat Reni tertarik?

Klo bukan tajir dan ganteng yang diinginkan wanita, lalu apa lagi? Pertanyaan itu adalah pertanyaan seribu mas-mas jomblo yang juga pesimis dapet cewek.

Ketahuilah bahwa ada yang paling utama mengenai daya tarik seorang pria. Apa itu?

Kemapanan mental dan kekuatan sosial

Beda dengan seorang wanita. Daya tarik seorang wanita adalah FISIKNYA. Wanita CANTIK lebih disukai pria mana pun.

Alasan utama Darto mengejar-ngejar Reni adalah karena Reni begitu cantik dan seksi. Reni begitu gemulai dengan bibir selalu basah mengkilap kayak puding strawberi, yang membuat Darto selalu mikir jorok klo lagi berduaan dengan Reni.

Kemapanan mental dan kekuatan sosial adalah daya tarik yang utama bagi seorang Pria. Untuk hal itu Darto kalah jauh dengan preman pasar Tanah Abang tersebut

Darto harus belajar mengendalikan segala sesuatu dalam dirinya, mulai dari emosi, sifat, pembawaan, kesadaran, kedewasaan, tanggung jawab, sampai dengan sikap, dan paradigma. Jelas semua itu bukan perkara mudah untuk Darto. Ia harus terus belajar, apalagi Ia hanya seorang pria yang cuma ngandalin duit kantong orang tuanya.

Mungkin berat untuk belajar mengenai semua itu. Ya, memang tidak ada yang mudah untuk mendapatkan sesuatu yang berharga. No free lunch. Tapi jika Darto bisa menguasai semua itu, maka ia akan memiliki daya tarik bahkan sampai ia usia 70 tahun sekali pun.

 
Coba lihat Sukarno, Obama, dan Nelson Mandela. Meraka adalah orang yang memiliki karismatik dan kekuatan sosial yang baik. Apakah karena mereka terkenal? Rumusnya tidak begitu. Ia memiliki sifat-sifat itu dulu baru ia terkenal. Sama seperti  wanita. Wanita cantik dulu baru terkenal, bukan terkenal dulu baru cantik.

Jadi, Semoga kita tidak mengikuti jejak Darto, ya genk dan buatlah wanita tertarik pada kalian.

Nb: Jangan jadi preman juga, cuma gara-gara kepengen dapetin wanita. Jangan salah rumus, nanti bisa remedial.









SELANJUTNYA >>

Sabtu, 07 Juni 2014

Mengingat Bapak

Tidak seperti biasanya saya naik bus memilih duduk di bangku yang paling depan. Dari zaman kuliah hingga sekarang ini, duduk di bangku belakang adalah favorite saya. Di bangku belakang itulah saya bisa mengamati orang-orang di depan saya berada. Entah mereka yang sedang menawar minuman dingin di dalam bus, entah mereka yang sedang memilih tempat duduk, atau apapun termasuk beberapa penumpang yang tidak kebagian tempat duduk yang sedang terkantuk kantuk sambil berdiri. Apapun gerak gerik kegiatan di depan saya di dalam bus, tak luput dari sorot mata saya yang kandang menyodorkan persoalan tersendiri dalam tempurung otak ini. 

Malam itu (tanggal 1 Juni 2014) saya memilih duduk di barisan paling depan, persis di sebelah seorang bapak. Dengan nada sopan saya meminta izin untuk permisi duduk di sebelahnya. 

"Silahkan, Mas!" Sambut bapak itu ramah. Saya menyandarkan badan ke bangku bus sambil memangku tas yang berisi laptop kesayangan. 

"Ini lewat ciawi kan, Pak?" Tanya saya kepada bapak itu, memastikan. 

"Iya, benar, Mas. Memang tujuan, Mas mau ke mana?"

"Ke Sukabumi, Pak" 

"Oh, sama. Saya juga mau ke Sukabumi. 

Kira-kira seperti itu percakapan awal kami yang akhirnya berbuntut panjang hingga bus itu benar-benar sampai di Ciawi. (Walaupun faktanya saya lebih banyak terdiam dan cuma manggut-manggut)

Kalau berbicara soal anak, saya rasa bukan hanyak bapak tua di dalam bus itu yang sanggup bercerita panjang sambil penuh semangat. Para bapak di muka bumi ini sudah tentu akan begitu excited jika menceritakan keberhasilan anaknya.

"Alhamdullilah... Anak saya sekarang sudah berhasil semua, Mas."

"Alhamdulillah ya, Pak"

Sepanjang perjalan itu kadang saya mengutuk diri sendiri. Ya, saya teringat bapak, orang tua saya di rumah. Yang sampai saat ini belum bisa saya bahagiakan. Entahlah kebahagiaan macam apa yang bisa saya persembahan untuk beliau. Wajahnya yang penuh kerutan perjalanan hidup, membuat saya paham benar ia adalah sosok lelaki pekerja keras. Semakin saya memandang wajah bapak, semakin saya bersalah.  Terakhir saya melihat wajah bapak penuh kebahagiaan adalah ketika saya berhasil masuk Universitas Negeri, selebihnya pancaran wajah itu tak tampak lagi. Mungkin ia kecewa, namun tak tega ia utarakan. Saya belum bisa seperti apa yang bapak inginkan.

Obrolan di dalam bus membuat saya sadar, bahwa saya sudah terlalu lama hidup dalam kesantaian. Rasa nyaman dan aman adalah jelas musuh kesuksesan saya saat ini.

Semoga saja bapak saya di rumah suatu saat nanti akan meceritakan  kepada pria di dalam bus prihal kebarhasilan saya. Dengan excited dan dengan penuh semangat 45x2 tentunya.

Thanks to bapak tua di dalam bus. Selain menyadarkan saya akan sebuah pencapaian, dirimu juga udah bayarin ongkos Rambutan-Ciawi. Semoga kita bisa ketemu lagi.





SELANJUTNYA >>

Kamis, 15 Mei 2014

Penutup Ketersiksaan


Tinggal di asrama itu bukanlah suatu yang mengenakan, apalagi dengan segala keterbatasan. Sebut saja susah makan. Ini bukan masalah soal uang yang berada di kantong, tapi soal alat masak yang hanya rice cooker di kamar. Minimnya peralatan masak membuat saya selalu pergi ke warung nasi yang jaraknya hampir satu kilo setiap jam tujuh malam. Lagi-lagi ini bukan soal jarak. Ini soal kebebasan. Keluhan ini akan meluas menjadi saya yang sering terkunci di asrama saat hendak jam makan itu tiba. Asrama hanya soal nama, kenyataannya saya seperti tinggal di sebuah kosan namun tanpa kebebasan. Kadang saya tidak habis pikir dengan petugas asrama yang menyamaratakan keadaan. Jelas saya bukan siswa. Asrama sering di kunci supaya siswa tidak sering keluar masuk asrama terutama di jam sekolah dan sholat. Lalu kenapa saya tidak menduplikat kunci? Tidak semudah itu nampaknya, banyak persoalan yang kadang sepele membuat terlihat rumit kalau berbicara mengenai lingkungan sekolah itu.

Baiklah akan saya ceritakan sedikit kenapa saya berada di tempat yang mengagumkan itu (Kira-kira begitu jika saya mau berbohong mengenai asrama itu).

Sudah hampir tiga bulan saya mengajar di sebuah sekolah boarding school pinggiran desa. Atas saran managemen saya di tempatkan di asrama bersama siswa, sementara sebagian guru yang lain tinggal di mess masing-masing yang telah di sediakan sekolah tersebut. Hal ini tidak masalah bagi orang baru macam saya untuk tinggal di manapun. Apapun itu saya mengjunjung tinggi keputusan managemen. Tapi seiring waktu yang terus berjalan, ketidaknyamanan dan ketidakbebasan datang, salah satunya yang saya sebutkan di atas. Terkunci di kamar sendiri. Rasanya tersiksa sekali. Saya jadi mulai tidak suka dengan kondisi itu. Mulai tidak menyukai lingkungan di sana. Mulai tidak menyukai pekerjaan. Karena tidak suka pekerjaan, saya jadi tidak suka dengan orang-orang di sekitarnya. Maka gandalah penderitaan saya. Sudah tersiksa dengan pekerjaan, tersiksa pula dengan lingkungan.

Namun saya percaya, semua penderitaan itu pasti akan ada manfaat kelak. Modal itu akan menjadi bekal dikemudian hari. Tidak ada yang sia-sia dari sebuah penderitaan yang saya jalani. Saya jadi mulai terbiasa bangun pagi karena pengeras suara yang mengganggu setiap jam setengah lima pagi. Mulai terbiasa sholat berjamaah walau diawali cuma karena rasa tidak enak. Mulai menyukai olahraga. Mulai terbiasa ke masjid. Mulai-mulai itulah yang kini bisa sedikit menutupi ketersiksaan saya kini.



SELANJUTNYA >>

Minggu, 11 Mei 2014

VIDEO JARTOP

Kali ini gue cuma mau posting hasil video bikinan gue. Cupu sih. Tapi buat orang awam macam gue video ini adalah karya iseng yang mesti gue simpan di blog gue supaya nggak ilang ditelan masa (lebay), secara bikinnya syusah. Hehe.
Yang pertama adalah video treasure hunt yaitu acara jaringan topik di tempat gue ngajar, Insan Cedikia Al Kausar. Dimana para siswa harus mencari sebuah harta karun yang tersimpan di sudut-sudut lingkungan sekolah.  Langsung simak aja ya.


Yang ke dua, masih dalam rangka jaringan topik. Para siswa di ajak untuk mengunjungi OISCA yang masih terletak di Sukabumi. Apa itu OISCA? Simak lagi aja ya






SELANJUTNYA >>

Senin, 14 April 2014

Lebih Baik Gagal Pulang dari Pada Gagal Hidup

Gagal Ke Jakarta
Gue gagal pulang bareng Nisa dan orang tuanya ke Jakarta. Padahal tawaran Nisa gue sambut dengan hati penuh gegap gempita pagi itu. (Ya, selain hemat ongkos, kali aja ada snack gratisannya juga sepanjang perjalanan ke Jakarta. Ngarep). 

Murid gue yang ramai (walaupun sendiri) kalau di kelas itu ternyata tetangga gue di Jakarta. Jarak rumah kita nggak begitu jauh, sekitar lima jam (Itu kalo gue ke rumahnya menggunakan ala suster ngesot, tapi kalo naik motor sekitar 5 menitan). 

Penyebab kegagalan itu sederhana, gue dapat tugas dadakan dari Pak Kepsek, dan hari itu juga gue mesti menghadiri workshop di Selabintana, Sukabumi. Gue sedih, pohon-pohon terkekeh, kupu-kupu terharu hinggap di dahan keruh, dan gue memang lebay.

Seketika itu juga gue langsung packing. Ini packing tercepat yang pernah gue lakukan. Iya karena gue cuma bawa satu stel pakaian dan dua celana dalem. 

Setelah selesai packing, gue langsung menuju parkiran sekolah. Sopir yang mau mengantar gue sudah siap, tapi hati gue belum siap, karena pikiran mau pulang ke Jakarta belum lenyap sepenuhnya di tempurung otak.

Tapi walau bagaimana pun ini pertama kalinya gue menghirup udara bebas Sukabumi, setelah sekian lama terjerembab di asrama. Dan ini kesempatan gue untuk mengenal Sukabumi lebih jauh lagi. Hahaha...Gue coba menghibur diri

"Selama jadi sopir, paling jauh ke mana Pak?" Tanya gue sok akrab sama sopir sekolah. Sementara mobil terus bergerak meninggalkan gerbang sekolah melintas bebatuan dan jalan berlubang yang kiri kanannya terbentang persawahan dan rumah warga. Untuk sebuah pemandangan indah, tempat gue ngajar itu emang juaranya. Pesawahan yang membentang luas serta gunung yang serasa lima kali salto saja bisa sampai ke puncaknya adalah pemandangan sehari-hari di sini. Tapi kehiruk-pikukan Jakarta kerap kali bikin rindu, apalagi memadu secangkir kopi dengan roti bakar di kafe tempat biasa gue duduk sendiri adalah hal yang belum bisa gue tinggalkan secara ihklas.

"Kalau perjalanan dinas paling ke Bandung dan Jogja, tapi kalau pribadi saya pernah ke Kebumen, Pak" Jawab sopir dengan tidak meninggalkan logat sundanya.

"Oh gitu" Jawab gue sambil manggut, dan terus memperhatikan rumah-rumah warga yang terlintas.

"Kalau kerja di Alkausar sudah berapa lama Pak?" Inilah jurus basa-basi gue yang super basi. Gue percaya basa basi itu bisa juga membangun keakraban.

"Dari tahun sembilan-sembilan, Pak" Gue tahu maksudnya 1999.

Gue mangut-mangut lagi.

Gue melirik jam tangan. "Oia, kalau masih ada waktu kita cari makan dulu, Pak. Tempat makan yang enak di Sukabumi di mana ya? Kalo bisa soto" Tetep di mana pun gue berada soto tetap menjadi makanan favorite. Lebih tepatnya gue gak bisa makan sembarangan, apalagi sambel dan makanan yang digoreng. Kampret. Jadi soto adalah makanan yang pas di lidah apalagi di perut. 

Gue emang sengaja berangkat pagi supaya banyak waktu buat mampir-mapir dulu, dan menjamah Sukabumi lebih lama lagi. 

===
Setengah jam kemudian, mobil berbelok dan parkir tepat di depan warung-warung tenda.

"Ini, namanya kantor dinas, Pak" Kata Pak Sopir sambil mengangkat rem tangan mobil

"Warung-warung ini, Pak?" 

"Bukan, eta!" Pak sopir menunjuk gedung yang berada di sebelah kanan warung-warung tenda berjejer itu. Rupanya becandaan gue dianggap serius.

"Ooh" Kata gue sambil manggut lagi.

Gue menuju salah satu warung tenda itu. 

"Aya, ada soto Bu?"
Gue sadar bahasa sunda gue hancur berantakan. Tapi bodo, dia nggak kenal gue. Dan gue juga sadar ada dan aya itu sama artinya.

"Aya. Sabaraha?"

"Siji, Bu". Sumpah gue nggak tahu itu bahasa sunda atau jawa. Tapi otak gue langsung komplen. Hiji kali, bukan siji

"Pak, mau pesen apa?" Tanya gue sambil menyeret bangku hingga berderit, supaya orang-orang yang barusan mendengar kekeliruan gue langsung teralihkan.

"Samain aja" Kata Pak sopir sopan.

"Bu, hiji deyi" Gue ngomong agak pelan (mungkin lebih terdengar biji), karena takut terdengar salah, tapi tangan gue cukup menjelaskan kalau gue pesen satu lagi. Gue ngelirik seorang ibu dan anaknya yang masih memakai seragam SMA, mereka menutup mulutnya, menahan tawa. Sementara gue menahan malu. Agghhhhh.....!!

Seusai makan soto di warung tenda, kita melanjutkan perjalanan lagi.

"Ini, Pak"  Gue menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan ke Pak Sopir.

"Dari Pak Henda?" Tanya sopir itu

"Ya, dari saya dong, Pak. Kan saya yang ngasih" Kata gue sambil becanda. " Itu uang pribadi saya, Pak, bukan uang sekolah"

"Oh, terima kasih Ya" kata sopir itu senang.


Hotel, Selabintana

"Permisi, bu. Kalau workshop guru matematika di mana ya?" tanya gue sama seorang ibu gemuk berkerudung yg sedang sibuk dengan handphonenya.

"Di sini, Pak" Sambil tidak melepaskan handphonenya dari telinganya. "Tapi belum pada dateng. Dari SMA mana?" Katanya melanjutkan, sambil menunjuk ke arah muka gue.

"Al Kausar, Bu" Jawab gue pelan, dan agak ketakutan.

"Nah!!"

Ibu itu langsung senang. Mimik mukanya tiba-tiba berubah.

"Ngaji nya?" (ngaji ya?)

"Ngaji?" Gue agak sedikit kaget. Apa gara-gara gue pake baju koko?. Gue ngelirik baju yang gue kenakan.

"Iya, ngaji buat pembukaan nanti. Dari Al Kausar mah bisa lah. Itukan sekola pesantren" Kata ibu itu menggampangkan persoalan.

"Mhhm...nggak bisa bu. Saya nggak bisa ngaji (lebih tepatnya gue demam panggung kalo ngaji di depan orang banyak). Saya masih baru di Alkausar" Gue ngeles.

"Kamu masih mahasiswa?" Ibu itu tiba-tiba memperhatikan muka gue. Gue takut kuadrat.

Sebelum gue menjawab, ibu itu langsung nyeletuk. " Yaudah jadi dirigen aja nya. Buat Indonesia Raya?"

Emang nggak ada cewek? Tanya gue dalam hati. Tapi tentu gue nggak bisa nolak untuk yang kedua kalinya.

"Iya, bu. Bisa" Jawab gue melas.

"Ya sudah, sok cari kamar sendiri atuh" Ibu itu memang benar-benar menggampangkan persoalan.

"Di mana, Bu?" Sebagai orang yang nggak tahu apa-apa, jelas gue dalam masalah besar. Ke workshop tentang guru pun gue baru saat ini, Sukabumi pula, dengan bahasa sunda yang minim pula, ditambah gue dateng seorang diri, tanpa guru-guru yang lain.

"Eta, pilih aja salah satu. Tapi satu tempat untuk enam orang nya".  Kata ibu itu, sambil me list nama gue sebagai dirigen

Gue diem beberapa saat.

"Yaudah jalan sana. Eta di ditu, aya kok kunci na"

Tanpa banyak berkomentar gue langsung mencari kamar di lingkungan hotel itu. Hotel yang klasifikasinya resort hotels membuat gue agak excited sebenarnya. Selabintana, mungkin sebagian dari kita banyak yang tahu. Tempat wisata yang berada di kaki gunung Pangrango memang menawarkan keindahan alam yang memukau. Tapi masalahnya gue bukan untuk senang-senang di sini, gue mau ikut workshop. Persis kayak lagi dikasih makan enak tapi kondisi gusi lagi sariawan. Damn. Percuma.


Di Kamar Hotel

"Pak sudah berapa orang di diyeu?" Tiga orang bapak mengetuk pintu sambil sesekali mengintip jendela.

"Saya, baru sendiri, Pak" Jawab gue sambil membuka pintu.

"Yaudah kita di sini aja" Kata satu dari mereka, dengan memakai bahasa sunda yang mudah gue pahami.

Mereka masuk tanpa persetujuan gue. Mungkin hak mereka, suka nggak suka kalau mereka mau memililih di sini, siapa juga yang larang. Aku rapoo..


Mereka langsung duduk di ruang tamu, menyandarkan badannya ke bangku, meletakan tas mereka masing-masing di sebelahnya. Gue persis pelayan meraka. Kampret. Akhirnya gue duduk di samping mereka menyamakan strata.

Nama saya, Ahmad, Pak" kata gue mengulurkan tangan satu-satu ke mereka.

Seorang bapak yang tepat di samping gue berbicara ke gue dengan nada emosi, tapi sayang. gue nggak ngerti, tapi gue ngerti maksudnya kalau dia sedang komplen sama pelayanan panitia workshop itu.

Gue manggut-manggut, tanda mengerti, walaupun sejujurnya nggak ngerti sama sekali apa yang dibicarakannya, karena selain dia berbicara sangat cepat, pake bahasa sunda pula. Aggghhhh.....!!

Bapak itu terus melanjutkannya pembicaraan dengan semangat empat lima kali sepuluh

"Kang, saha tadi namina?"

"Ahmad"

Bapak 1 : Nyaho teu, Kang Ahmad ...%$^@$%^*$E65$#$%^&*7$..... "
Bapak 2: Nya kitu,.....ggsf$#@%&*57767%5546^*%%#%#7^67...."
Bapak 3: Lain atuh,...%$^&*(&&&#$#!#$FHJGDFG()09877 ....."
Gue : "??????????????????????????????????????????????????"
(30 menit berlangsung. Tiga bapak itu penuh luka tusukan. Gue kayang mundur mengitari mayat mereka.)

Gue lelah mikir. Mereka malah makin seru ngajak ngomong gue. Dan kampretnya, dia nggak ngerti kalau gue lagi nggak ngerti. Dua puluh menit itu juga gue cuma mangut-mangut, tanpa berdaya, hingga akhirnya.: "Silahkan Pak ke kamar, beres-beres dulu" Terpaksa gue putus obrolan mereka, dan kayaknya mereka baru sadar kalo yang sedang di ajak ngomong nggak ngerti bahasa mereka, karena gue menawarkan secara sopan dengan bahasa Indonesia

=======

Karena kita keasyikan ngobrol, lebih tepatnya tiga bapak-bapak itu keasyikan ngobrol, akhirnya kita telat ke aula untuk ngikutin workshop. Hikmahnya. Ada yang gantiin gue jadi dirigen. ahayyy...!! *Salto

Seusai workshop sesi pertama gue kembali ke kamar. Udara mulai menusuk tulang-tulang persendian, pori-pori kulit mulai membesar. Gue menggigil kedinginan. Packing yang super kilat membuat gue lupa membawa jaket atau sweater, dan hasilnya gue nggak bisa tidur semaleman.

Singkat cerita, workshop selesai. Dan yang paling nggak disangka-sangka, setiap peserta workshop dapat amplop yang isinya dua ratus ribu rupiah. Subhanallah, gue dapet rezeki Rp 200.000. Apakah itu kebetulan? Gue mikir agak lama. Gue rasa nggak. Masih inget, gue kasih sopir dengan uang pribadi berapa? Rp 20.000. Besok itu juga sedekah gue diganti sama Allah sepuluh kali lipatnya. Yey. Yang gue sesalkan, kenapa nggak gue kasih seratus ribu aja tuh Pak Sopir. Kalau kasih seratus ribu kan bisa jadi satu juta. Wahh..keren!

Ketemu Kenalan Lama

Cek out dari hotel gue langsung bergegas ke Jogja departement store yang berada di kota Sukabumi. Di tempat inilah gue janjian sama Mas Ikhsan, seorang entrepreneus Sukabumi yang juga memiliki outlet kopi di swalayan tersebut. Ilmu pengetahuan gue mengenai tongkrongan di Sukabumi memang minim, tapi untuk sebuah tempat kongkow-kongkow yang lumayan di Sukabumi yang gue tahu ya Swalayan ini. Mungkin sengaja Mas Ikhsan ngajak ketemuan di sini, selain foodcouartnya memang ramai, mungkin sekalian memperkenalkan aoutlet kopinya.

Kenal Mas Ikhsan sudah lama sebenarnya, kita sama-sama jebolan dari Moslem Millionaire IV Ippho Santosa. Bedanya gue memutuskan untuk menjadi guru di Alkausar (entah dalam waktu berapa lama), sementara beliau terus menggeluti dunia entrepreneurnya.

"Ahmad..!" Suara mas Ikhsan memanggil gue yang hampir beberapa menit celingukan sana-sini di foodcourt itu.

"Halo, Mas apa kabar?" Sapa gue senang. "Wah akhirnya bisa ketemu juga ya"

Mas Ikhsan langsung mengajak gue ke outlet kopinya, dan mempersilahkan gue untuk memesannya.

Menyeruput secangkir kopi, membuat gue teringat teman-teman gue di Jakarta, bukan hanya suasana food court yang ramai itu, tapi pembicaraan mengenai dunia usaha membuat gue ngerasa ada di Jakarta. I'm like home again.

Seketika gue galau, mau dibawa kemana tujuan hidup gue. Apakah selamanya gue terus tinggal di lingkungan asrama. Rasannya seperti mengubur mimpi hidup-hidup. Apakah gue benar-benar di lingkungan yang benar. Apakah STUDIO5 benar-benar bisa besar nanti (semoga di Tangan dingin M.Tulus bisa). Duh gue rindu STUDIO5. Pikiran-pikiran itu terbelesit di sela-sela obrolan gue dengan Mas Ikhsan. Ngobrol dengan Mas Ikhsan sempat memicu jiwa entrepreneur muncul lagi di hati ini. Dan hati gue bilang

"Gue pergi untuk sementara"



SELANJUTNYA >>

Rabu, 02 April 2014

Orang-orang Bertopeng dan Berselimut

Pagi ini Alkausar berkabut. Entah kabut-kabut itu turun sejak pukul berapa tadi. Yang pasti ketika azdan Subuh berkumandang kabut itu sudah mengepul putih membanjiri lingkungan Alka. Putihnya terurai indah di balik-balik pohon dan di atap-atap asrama, dan yang paling menjadi misteri di tempurung otak ini, kenapa kabut-kabut tersebut tidak masuk menyeruak ke dalam asrama tempat di mana saya tinggal. Tidak seperti di rumah di Jakarta yang selalu termasuki asap pembakaran sampah jika tetangga kerap membakar sampah di samping rumah yang bisa membuat saya terbatuk-batuk lantaran asap-asap itu dengan sukses masuk kamar. Kabut itu tetap pada posisinya, mengepul indah di jalan-jalan, di atas pohon, dan di atap asrama. Mungkin faktor suhu kamar dan di luar kamar yang berbeda membuat kabut tidak masuk. Itu pemikiran cetek saya.

Saya terbangun memang terlampau pagi. Bukan kabut itu yang membangunkan saya pagi ini, tetapi suara orang mengaji dipengeras suara  membuyarkan semua mimpi indah namun semu. Rasa malas dan kantuk yang memadu satu menjadi alasan indah untuk terus mengumpat di balik tebal selimut asrama. Atas dasar rasa malu dan tidak enak, kantuk serta malas untuk bergegas ke masjid dan melaksanakan Sholat Subuh hilang. Bukan hanya malu kepada murid-murid di sini yang setiap subuh dipaksa ke masjid tetapi juga kepada Tuhan yang telah menciptakan Adam untuk bumi yang kini menjadi tugas kita untuk meneruskan amanah luhur tersebut yang tidak lain sebagai khalifah di bumi ini.

Saya turun dengan gontai melawan kantuk yang hebat dari kamar menuju masjid. Anak tangga serasa hal yang menyebalkan jika setengah kesadaran saya harus dipaksa konsen menginjak tepat satu anak tangga supaya tidak tergelincir. Rasannya ingin belajar parkour supaya tidak melalui anak tangga yang menyebalkan itu.  Loncat dari kamar ke lobi bahkan ke masjid dengan mudah dan ringan. Jangankan parkour, untuk melangkahkan kaki saja sudah malas luar biasa menembus kabut. Dan berbicara parkour, di alka itu sebenarnya enak untuk belajar parkour, gedung-gedung asrama, kantor, dan sekolah sambung menyambung menjadi satu. Tapi memang sih pepohonannya juga nggak sedikit, nanti bukan keren yang ada kayak monyet sedang kabur diserang warga karena kedapatan mencuri.

Saya terperanjat ketika benar-benar sudah di luar asrama. Saya melihat segerombolan orang-orang berkuda keluar dari kabut tebal yang semakin turun. Tidak begitu jelas jumlah mereka. Tapi pastinya banyak sekali. Suara gaduh ringkik kuda dan derap kaki kuda membumbung tinggi ke angkasa. Saya kaget bukan main, ternyata segerombolan kuda itu mendekati saya. Iya mendekati saya. What?? Orang-orang bercadar penunggang kuda itu mengangkat pedangnya dan terus mendekati saya. Saya mundur beberapa meter kebelakang. Semakin lama penunggang kuda itu semakin banyak, seolah tidak pernah habis keluar dari gumpalan kabut itu. Mereka berteriak mengangkat pedanganya dan siap menebas leher saya. Tidaaaaaakkkk..................................!!!!!





Draaaakkkkkk......................!!!

Saya terkapar di lantai.

Kepala pusing dan seolah bumi berputar.

Baju yang saya kenakan basah akibat cucuran keringat.

(Hening untuk beberapa detik)

Pelan-pelan saya memberanikan membuka mata. Lampu kamar yang semakin redup, gitar, laptop, dan handphone yang tetap pada posisinya. Saya mengangkat kepala dan meletakannya di atas bantal yang ikut terjatuh dari kasur. Saya menutup muka dengan selimut membayangkan muka yang bertopeng 



Sumber gambar :
https://www.facebook.com/note.php?note_id=192157994162264
SELANJUTNYA >>

Selasa, 25 Maret 2014

Mirip Yang Bikin Miris.

Entah untuk yang keberapa sekian kalinya gue dibilang mirip si inilah.. atau si itulah. Hadeh.. face market banget. Kalau dimiripin sama orang-orang keren sih nggak papa, kayak Mario Maurer misalnya, itu lho pemeran Khun Shone dalam film Crazy Little Thing (Hahahaha ngarep dot com. Ups..! ketahuan deh tontonan gue. Sumpah demi apapun itu gue dicekokin ade kelas buat nonton film gituan *hmmm.... bagus sih filmnya. Gubrak)

Tuh..mirip sama gue kan?? Ya nggak? ya nggak?

Tapi faktanya memang selalu ada saja stok orang-orang yang mirip kita lho. Nggak percaya? Nih contohnya:

Sophie Candiex, 29 tahun dan Catherine Trudeau, 31 tahun. Keduanya aktris dari Kanada. Beuh sebelas dua belas mukanya.


Kalau yang di bawah ini namanya Sylvie Gagnan dan Caroline Dhavernas. Gila mirip abis.


Nah kalau kakek yang dua ini namanya Rudi Kistler dan MaurusOehman. Bener-bener kayak kembar dari dalam perut.

Dan masih banyak lagi sebenernya orang-orang mirp di dunia ini. Di Indonesia pun banyak. Pak Jokowi misalnya. Atau  Untuk jelasnya liat aja blog INI, yang kebetulan gue juga ngambil gambar-gambar di atas dari situ.

Tapi yang lebih sinting lagi, di suatu forum Kompas Online ada yang mengatakan bahwa kita juga memiliki kembaran gaib dan malah disitu dijelaskan bagaimana caranya mengetahui kembaran gaib tersebut. Geblek. Karena temanya gue nggak mau berbau mistis jadi gue nggak bahas itu. 

Oke. Terus kalau lo mirip sama siapa, Dick?

Menurut teman rumah gue yang sekarang stay di Bandung (Hai apa kabar? Masih kenal gue? Mungkin dia bakal jawab. Siapa loh?), katanya gue mirip sama Duta Sheila On7. Gue juga bingung mirip dari mananya. Gue rasa temen gue itu ngidap mata katarak deh. Atau pas bilang gue mirip Duta dia baru aja kejedot tembok Berlin.

Nah, kalau menurut beberapa teman kamupus gue. Katanya gue mirip Ryan D'masiv. What? Ryan De'nasib mungkin? Duh, penderitaan apa lagi ini.
Makanya pas D'masiv tampil di tivi dengan lagu-lagu super galaunya, emaknya temen gue teriak-teriak manggil anaknya yang lagi nyapu di halaman rumahnya, "Teteh, Teteh, si Ahmad masuk tivi ya?" Temen gue lari ke ruang tamu, pas di liat bukan gue. Dia narik napas panjang. "Cuma mirip, Miii" katanya sambil mengatur napas."Emang iya?" kata emaknya dengan nada polos.

Terus, menurut Ibunya Eka Nanda, adek kelas gue di SMA dulu, gue dibilang mirip Abidzar anaknya Alm Uje. Hado ini dari mana miripnya ya? Tapi gue coba berpikir postif. Abidzar? tuh anak kan imut banget. Berarti gue imut dong? Huek. Muntah Keong.

Ibunya Eka mikir agak lama sambil menatap muka gue yang agak memelas "Kak, Ahmad mirip siapa yaa? sambil dia mikir gue deg-degan kayak mau nungguin pengumuman lomba. "Hmmm.. oooh iyaa? Anaknya Uje" kata ibunya dengan nada seneng bukan main kayak abis nemuin jawaban matematika yang super susah. "Ooh..iya semua ade-adenya mengamini pernyataan ibunya. Dan gue kepengen rasanya jadi liliput mengicil dan menghilang dari rumah itu. Ting! Ok. Gue lebay.

Sedangkan menurut temen gue si Tommy ade kelas gue sekaligus patner mengajar di STUDIO5, katanya gue mirip Ariel Noah, dan dia sampai nulis diblognya tentang masalah kemiripan gue itu. Kampret!! Entah gue harus merasa terhina atau terhibur. Ariel? Lo tau Ariel kan? Siapa dia? Iya artis yang main adegan film gituan *Bukan pemain film Crazy Little Thing yeaah.  Kali ini mendapat lo salah kawan. Gue nggak mirip Ariel, gue lebih mirip Luna Maya.

Daaannnn... yang paling males banget adalah ketika gue dimirip-miripin sama murid gue sendiri. Di Sudirman misalnya, ketika gue masuk kelas yang katanya ada yang mirip gue, kelas selalu gaduh, neriakin gue "Kaakk... ada adenya tuh!". Setiap kali mereka ngomong gitu rasanya pengen gue keluarin tuh anak, terus diiket di pohon biar nggak gangguin abangnya ngajar. Atau gue suruh ke warung beliin Pop mie di warung Tante Olen.(Ups..faktanya gue nggak pernah berhasil nyuruh ade kandung gue ke warung kalau lagi di rumah. Abang yang baik kan?)

Nah, di tempat gue ngajar sekarang, katanya ada murid SMP  yang mirip gue. Ya Tuhan.. sampai di gunung gini pun masih ada aja yang mirip gue.

Apapun alasannya dimirip-miripin itu nggak enak brader. Jangankan masalah muka, masalah baju aja kalau ada yang mirip malunya lumayan. Gue pernah ngalamin kejadian itu. Baju gue mirip cewek, di postingan ini gue pernah nulis masalah itu di SINI 

======================================================================

Gue. Di kafe. Sendiri

"Mas, Mas, vokalisnya Sheila On7 ya?"
"Bukan, Mbak. Mbak salah orang"
"Mas, Mas kan vokalisnya Sheila On7?"
"Bukan, Mbak. Saya bukan vokalisnya Sheila On7!!"
"Tuh, kan bener, Mas ini vokalisnya Sheila On7"
(Hening)
"Mas, kok nggak dijawab. Mas kan volisnya Sheila On7?"
"Iya, saya vokalisnya Sheila On7. Emang kenapa, ah??"
"Kok, ndak mirip?"
(ZZZzzzzzZzZzzzz...)




SELANJUTNYA >>

Rabu, 19 Maret 2014

MANTRA PENGHIBUR DIRI

Wahai Tuhanku Yang Maha Agung..TOLONG ingatkan kepadaku tujuan Engkau menciptakan diriku..

 
MANTRA PENGHIBUR DIRI:

"Ahmad Bhadick, perkenalkan ini Ahmad Bhadick- Orang penting, benar-benar penting. Bhadick, Kamu pemikir besar. BERPIKIRLAH BESAR mengenai segalanya. Kamu memiliki banyak kemampuan melakukan pekerjaan dengan sangat baik, jadi lakukanlah pekerjaan dengan SANGAT BAIK.

Bhadick, Kamu percaya akan KEBAHAGIAAN, KEMAJUAN, dan KEBERHASILAN.

Jadi:
Berbicaralah hanya tentang KEBAHAGIAAN

Berbicaralah hanya tentang KEMAJUAN

Berbicaralah hanya tentang KEBERHASILAN

Kamu memiliki banya PENDORONG, Dik, banyak PENDORONG. Jadi manfaatkan PENDORONG itu. Tidak ada yang dapat menghentikan Kamu, Dik, tak satupun

Dik, Kamu ANTUSIAS. Biarkan ANTUSIAS kamu terlihat.

Kamu tampak baik, Dik, dan Kamu merasa baik. Tetaplah begitu.

Ahmad Bhadick, Kamu orang HEBAT kemarin dan kamu akan menjadi HEBAT hari ini. Sekarang MAJU terus , Dik. MAJU TERUS!!
SELANJUTNYA >>

Jumat, 14 Maret 2014

Belajar Biola. Iri sambil berdiri

Sore ini gue abis belajar biola. Sendiri. Dan dapat dipastikan suara biolanya jadi memprihatikankan. Ternyata nggak semudah main gitar. Di tengah kejengkelan gue akibat suara biola yang terdengar fales, akhirnya gue coba cari-cari tutorial di youtube, kali aja gue biasa belajar dengan mudah. Untuk zaman sekarang itu apa sih yang susah. Gak bisa panggil guru privat tinggal tongkrongin aja internet, dan lo bebas belajar biola sambil kayang.

Alih-alih belajar biola via internet gue malah nongkrongin youtubenya JuNCurrtAhn. Kampret..., kapan gue bisa main biola kayak gitu ya. Coba aja liat kepiawaiannya dia dalam bermain alat gesek itu. Sebenernya gue juga kepengen rekam hasil pembelajaran gue sore ini kayak dia, tapi atas nama tenggang rasa, demi kuping kalian untuk menjaga agar tidak stroke, akhirnya gue urungkan niat itu. Dan gue lebih memilih upload videonya si Jun, dan dijamin nggak bakalan stroke kalau kalian denger suara dari permainannya.

Selamat menikmati. Doakan gue biar bisa main kayak gitu juga, biar bisa gue taro di youtube juga. Oke, gue lanjut belajar lagi nih...Semangat!!

Someone like you

 Lighters- Eminem


When i was your man- Bruno

A Thousand years- Christina


 Dan masih banyak lagi. Langusung aja ke youtubenya ya. Semoga menginsprirasi!!



SELANJUTNYA >>

Minggu, 09 Maret 2014

Putus? Gapapa, Asal Jangan Kaya Gini


"Aku mau kita putus!!" 
Suara seorang wanita di ujung telepon.

"Emang salah aku apa?" Tanya seorang pria penuh kebingungan dan hampir berlinangan air mata karena tidak kuat dengan kenyataan yang ada di depannya.

"Kamu nggak salah. Aku ngerasa hubungan kita ini memang udah nggak cocok aja" kata wanita itu santai namun cukup menghujam jantung.

"Nggak cocok dimananya?"  Air mata pria ini mulai deras membasahi pipi hingga ke kaki dan mengalir ke got-got di depan rumahnya.

"Ya, nggak cocok aja. Lagian juga aku harus konsentrasi belajar. Aku nggak mau nilai aku jelek cuma gara-gara kita pacaran. Semoga kamu bisa ngertiin aku. Plis!"

"Iya aku ngerti kok. Tapi kenapa solusinya harus putus? Emang nggak ada cara lain?"

"Aku sudah mikir matang-matang soal ini. Dan... ya, itu, solusi terbaiknya kita nggak berhubungan dulu"

"Sampai kapan?" Air mata pria itu keluar semakin deras yang hampir membuat lepas kedua bola matanya yang coklat

"Aku juga nggak tahu"

"Jadi sekarang kita putus?" Tanya pria itu melemah.

"Iya. Semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dari aku"

Pria itu pingsan dan hanyut kebawa arus air matanya sendiri, menghilang bersama harapan-harapan dan mimpi yang ia ukir selama ini bersama sang pujaan hatinya."

Haloo..!! haloo.. hallo!! suara seorang wanita di corong telepon yang tergantung membentur lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan rumah itu.

=========================================================================

Ada yang bilang cinta itu nggak berlogika, sampai-sampai untuk putusnya pun kadang ada juga yang nggak masuk akal. Tapi apapun alasannya. Benar atau salah. Masuk akal atau tidak. Kalau memang mesti putus, ya putus aja. Cinta itu nggak bisa kayak poninya Andhika Kangen Band keleus. Udah nggak pantes di cocok-cocokin. Sekeras apapun sepasang kekasih mempertahankan hubungannya, kalau memang belum jodoh ya pasti akan lepas juga. Begitu sebaliknya, sekeras apapun rintangan, halangan serta cobaan terhadap hubungan mereka, kalau memang mereka berjodoh, yang akan bisa juga mereka lalui.


Simple menurut gue. Jalanin aja cinta yang sudah ada di depan mata sambil kita terus berusaha mencitai pasangan dengan penuh ketulusan. 
Nanti kalau terlalu tulus, kalau diputusin nggak nyesek? Itu hanya soal mindset. Nyesek atau nggak, tergantung kita yang mengartikan.

Kok, kamu bijak Bhadick?

Siapa bilang? Gue cuma pernah jadi korban, sampai akhirnya gue menemukan titik untuk berdamai sama diri sendiri. Dan gue selalu bilang sama diri gue sendiri "Bhadick, nggak boleh ada yang bisa nyakitin diri lo, tanpa seizin diri lo sendiri!!"

Kata itu muncul ketika gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri, dimana seorang teman dekat menyayat-nyayat tangannya dengan sebuah silet setelah beberapa jam diputusin pacarnya. Darah yang keluar begitu banyak dari tangannya. Gue membisu sepersekian detik sebelum akhirnya ia benar-benar pingsan berlumuran darah, terkapar di depan gue.

Itu sinting, Men. Cukup temen gue aja yang ngalamin peristiwa na'as kayak gitu. Sampai detik ini, sampai dengan gue nulis blog ini. Bekas luka itu masih ada di tangan teman gue itu. Sementara pujaan hatinya sudah nikah dengan orang lain yang mungkin nggak lebih baik dari temen gue. (Iya, karena temen gue diputusin akibat terlalu baik) 

Terlalu baik saja kadang suka salah. Dan selalu saja menjadi alasan pasangan untuk memutuskan pasangan yang lain. Oke. Mungkin niat baiknya ingin putus secara baik-baik. Tapi mau baik atau nggak, yang pasti putus itu menyakitkan.

Gue nggak tahu kenapa gue nulis ini, dan ceritain itu. Yang pasti semoga kita bisa mengambil hikmahnya saja. Kalau kita pacaran, resiko yang udah pasti adalah putus. Pacarmu itu adalah calon mantanmu, kecuali keduanya mempunyai niat dan komitmen yang berbalut doa untuk kejenjang yang lebih serius

Oke. Gue bukan dewa yang nggak sedih kalau diputusin pacar. Tapi gue juga nggak mau kejadian yang menimpah kawan gue itu terjadi juga sama gue atau sama pembaca blog ini. Nah mungkin tulisan gue ini, klik aja Tips Mengatasi Patah Hati bisa membantu. Kalau nggak bisa membantu mungkin bisa nambahin gitu, biar yang lain kebantu.  Pokoknya gitu deh, sorry aja kalau tips dari gue nggak memuaskan. Jelas, karena gue bukan alat pemuas. Hihihi..





SELANJUTNYA >>

Senin, 24 Februari 2014

WIh SUDA h lah..

Pagi sekali aku sudah bangun dari tidur. Menyibak gorden menyambut pagi. Untuk menyadarkan diri dari buaikan kantuk  yang begitu berat, aku menatap kosong hamparan rumah kontrakan dari balik jendela kamar kecil. Badan masih terasa letih akibat pulang ngajar semalam, rasanya ingin melanjutkan tidur sesegera mungkin dan menemukan mimpi indah di balik selimut indah di atas kasur empuk, tapi keinginan itu terkalahkan dengan janji yang harus aku penuhi. Janji yang akan bisa merubah masa depan.

Pepohonan masih terlihat basah akibat hujan semalaman. Terang perlahan merayap malas menghapus gelap. Suara burung berderu seru melengkapi alam pagi ini. Setelah beberapa menit terpaku ke luar kamar, aku coba menggerakan badanku turun dari tempat tidur, menyambar handuk di balik pintu kamar. Aku berjalan gontai menuju kamar mandi.

"Kamu sudah sarapan?" Sapa Ayah ketika aku menurin tangga menuju ruang tamu untuk menggambil sesuatu.

"Nanti aja, Yah, di kampus" Jawab ku malas

"Ye, kamu gimana sih. Ibumu sudah bikinin kamu nasi goreng tadi. Makan di rumah aja" Kata ayah sambil membalik koran yang tengah ia baca.

"Aku, buru-buru,Yah, ada janji sama dosen pembimbing. Siang nanti dosennya mau pergi lagi ke luar kota" kataku sambil memasukan beberapa buku ke dalam mobil.

"Itu benaran, kan? Kata Ayah ragu, tapi sekaligus senang.
"Bener, Yah, Ahmad kan kepengen cepet lulus kayak Bimo. Biar cepet kawin" Jawabku datar, tapi jelas aku bercanda sama Ayah.

"Kuliah aja belum lulus-lulus udah ngomongin kawin" gerutu Ayah sembari menyambar secangkir kopi di atas meja tepat di depan ia duduk.


Mobil berderit meninggalkan garasi yang masih terbuka yang untuk beberapa menit kemudian di tutup lagi oleh Mang Darmo.

Hidup itu tidak selamanya berjalan lurus-lurus saja. Bukan atas kemauan seseorang. Tapi ada kalanya kita dibentur oleh keadaan-keadaan yang tidak sama sekali kita inginan. Semangat boleh full, mimpi boleh tinggi. Tapi kalau harus setiap saat ketemunya dengan masalah yang sama, rasanya ingin mencari jalan lain, dan, jalan lain itulah yang saat ini juga belum terbentuk di benak, apalagi terlihat di mata.

Sudah berapa kali aku ganti judul skripsi. Untuk menentukan judul saja rasanya tidak becus, apalagi menyusun rangkai skripsi yang super tebal yang bisa saja membuat anjing tetangga mati berlumuran darah akibat tertimpuk kitab karangan tak bebas itu. Bukan hanya tak bebas dalam soal mengarang, tetapi juga tak bebas kapan aku boleh menyelesaikannya.



"Ahmaddd...bhadiikk......" sapa Danar mahasiswa yang hampir senasib denganku, ketika baru aja aku menutup pintu mobil.

"Lo, masih hapal jalan ke kampus sob?"
"Hampi lupa gue. Yang lagi ngomong sama gue aja, gue lupa lo siapa?"
"Kampret, lo"

"Oia lo udah liat, Pak Ramlan?"
"Tadi sih ada di ruang jurusan. Udah nanti aja bimbingannya, ngopi dulu kita, ke kantin?"

"Nggak bisa brader, gue harus buru-buru nih, keburu pergi lagi tuh pembimbing yang terhormat"

"Siap..kapten, gue tunggu di kantin ya.."

Gue heran sama Danar, hidupnya terlalu santai, nggak punya target dan hidup selalu di bikin enak. Gue kepengen hidup seperti itu, tapi lagi-lagi gagal. Danar tenar sekampus. Angkatan berapa yang nggak kenal sama dia? Ketenarannya dia raih dengan jalan kuliah bareng adik tingkat. Danar sering kuliah bareng sama adik tingkat, entah sudah kedalaman berapa dia ngerasain satu mata kuliah bareng adik tingkat.

"Permisi, Pak" sapaku pada seorang cleaning serivis tua yang tengah bekerja di ruangan itu. Ada, Pak Ramlan?" Kataku yang hanya mengerakan bibir, nyaris tak ada suara yang keluar dari mulut.
"Baru aja pergi, mas. Mungkin sudah setengah jam yang lalu" Jawab bapak tua itu sopan.

"What, setengah jam, BARU?" aku menggerutu dalam hati.
"Oke, Pak, makasih" aku perjalan mundur dan menutup pintu ruang jurusan.

Aku perjalan gontai menuju kantin. Pak Ramlan baru saja pergi kata seorang claning servis yang menurutnya setengah jam itu 'baru saja'. Mungkin Ia sudah dalam perjalanan menuju bandara dengan headset kesayangannya. Entah ia balik kapan. Sepertinya aku akan melewati wisuda tahun ini sama seperti wisuda tahun-tahun sebelumnya, dengan skripsi yang tak kunjung berjudul, dan dengan sidang skripsi tak kunjung tiba. Wisuda kini hanya masih sebatas harapan yang terterah di kamar tembok, masih sama berseru di atas kertas yang ku coret ketika aku mulai bosan dengan semua ini. Aku mati dalam mimpi-mimpiku sendiri. 





SELANJUTNYA >>

Sabtu, 15 Februari 2014

Lagi Homesick

Seminggu di sini serasa sebulan...

Kalau gue perjelas kalimat di atas adalah...

Gue nggak betah..

Oke. Tapi gue harus profesional. Gue harus melakukan apa yang bisa gue lakuin di mana gue berada. Bukankah di manapun posisi kita sekarang, adalah keputusan kita. Tidak ada yang sia-sia dengan apa yang kita lakukan selama itu positif.


Lo lagi ngomongin apa sih, Bang?

Itu sebagian kecil uneg-uneg di dalam hati.

Udah seminggu ini gue tinggal di asrama jauh dari orang tua. Nyuci sendiri, makan cari warung sendiri, dan memenuhi segala kebutuhan dilakukan sendiri. Jauh banget dari kebiasaan gue di Jakarta yang segalanya udah ada ibu yang ngurus. Duh kerasa banget kalau seorang ibu begitu berjasa bukan hanya secara fisik tetapi juga secara jiwa. Walau letih di rumah, asal ada ibu, rasanya letih itu hilang seiirng cerita ibu atau ketika manja itu datang dengan serta merta ibu memijit badan ini.

Kalau lagi datang rindu. Rasanya wajah ibu yang lebih dulu nonggol di pikiran ini. (Rasanya ingin nangis. Maaf motivator juga manusia)

Disinilah gue harus belajar.

Gue memulai di sini dari nol kembali. Membereskan kehidupan yang sempet nggak beres. Terutama hal kedisiplinan dan kemalasan. Gue seorang guru, tapi rasanya gue malah jadi seorang murid di sini (Bukan hanya karena gue satu-satunya guru yang tinggal bareng siswa di asrama. Membaur pun lebih banyak sama murid ketimbang rekan-rekan guru)

Banyak banget yang gue nggak tau, terlebih soal agama. Tapi gue harus memulai...

Membayangkan menjadi murid selama tiga tahun di sini saja gue udah stres duluan, apalagi menjadi guru yang pasti akan jauh lebih lama dari itu. Hidup rasanya lebih monoton dengan melakukan itu-itu saja. Ngajar- Asrama-Ngajar-Asrama. Heh? Selama tiga tahun?

Tapi bagaimanapun juga gue nggak boleh pesimis, ini kan baru langkah awal. Gue belum tahu kehidupan lebih jelas di sini. Dan gue mesti cari tahu kenyamanan hidup dengan ritme seperti ini.   

 Semangat!!

SELANJUTNYA >>

Senin, 13 Januari 2014

Jakarta Butuh Pahlawan Kebanjiran

Horeee...!!!  Banjir datang lagi. Sebagian senang, sebagian sedih, sebagian lagi bingung harus senang atau sedih..Nah loh?

Rentetan keluhan terpampang panjang di sosial media bernama twitter. Resent update BlackBerry menyuarakan hal yang sama. Ada yang memaki,  ada yang menyalahkan golongan tertentu, bahkan menyalahkan pemerintah. Kalau seperti ini saya jadi kangen Pak Jokowi. Kami menunggu seorang pahlawan Jakarta untuk menanggani banjir Pak. Bapak kah orangnya?

Adakah seseorang yang brilliant hadir di Jakarta ini khusus untuk menangani banjir? Tanpa butuh waktu lama pastinya.

Kalau memang tidak ada kenapa masalah banjir selalu menjadi bahan materi klasik kampanye para wakil rakyat? Faktanya siapapun yang naik belum pernah benar-benar bisa mengatasi banjir tuh.

Harusnya dalam mengatasi banjir diperlukan badan khusus seperti densus 88 atau KPK agar masalah banjir ini benar-benar ditangani secara khusus dan serius oleh badan tersebut. Halah tahu apa saya.  

Untuk menghindari keluh kesan terhadap banjir, saya lebih memilih BBMan sama orang-orang yang menyenangkan saat banjir tiba. Berselimut tebal sembari menyeruput susu coklat buatan ibu  adalah cara saya agar terhindar dari kekesalan terhadap banjir (walau saya sempat memaki lantaran buku-buku kesayangan saya nyemplung ke lantai yang sudah tergenang air)

Anak-anak kecil  tetangga beda lagi. Mereka gembira luar biasa kalau banjir datang. Masih pagi sekali mereka sudah siap dengan baju renangnya (maksudnya sudah telanjang dada mendorong-dorong sesuatu yang dianggapnya perahu)

Saya menyaksikan dari balik jendela rumah ikutan senang melihat keluguan mereka. Ada rindu yang mendalam. Ada kenangan yang tertinggal dikeriangan mereka. 

Ya, selama ini saya lupa bergembira terhadap hal-hal yang tidak saya inginkan. Saya lupa mendesain toh kalau gembira itu tidak hanya untuk sebuah kebahagiaan. Saat masalah rumit datang pun ada saatnya kita perlu bergembira, kali aja bisa memperingan masalah tersebut. Kini saya lupa terhadap teknologi pikiran semacam itu.

Dimana jika ia marah ia cepat memaafkan dan melupakan, jika ia sedih ia mudah terhibur hanya dengan satu batang coklat, jika ia melihat kubangan (masalah) ia menghampirinya tidak menghindarinya. 

Kini saya kehilangan teknologi pikiran semacam itu. Dan gara-gara anak tetangga dengan suka cita menyambut banjir walaupun rumahnya sudah tenggelam setengah, saya jadi berpikir dari pada mengeluh mending lepas baju ikutan mereka. Tapi otak dewasa saya melarangnya atas definisi rumit bernama "tahu diri"
SELANJUTNYA >>

Sabtu, 11 Januari 2014

Jodoh Pasti Bertemu

Jodoh pasti bertemu. Maaf saya tidak lagi ingin membahas judul lagunya Afgan atau Gan,Gan yang lain. Saya juga tidak begitu pandai membahas mengenai jodoh. Tapi dalam kalimat Jodoh Pasti Bertemu saya jelas orang terdepan yang mengamini. Tidak peduli dia berada di Palembang atau Medan sekalipun. Sejauh apa selisih umur mereka.(4 tahun? 7 tahun? 10 tahun?) Kalau mereka berjodoh, ya berjodohlah. Bukankah selisih umur nabi dan para istrinya begitu jauh? Itulah yang membuat saya harus senantiasa optimis dalam sekenario luhur bernama jodoh

Tuhan memiliki rencana yang luhur untuk mempertemukan mereka berdua. Ya berdua. Orang yang terjodohkan itu. Entah lewat BBM, ketemu di angkot atau secara nggak sengaja tumbrukan di depan lift yang berakhir di pelaminan (maaf saya korban ftv).

Apakah seseorang hadir begitu saya dengan add pin BB dari promote kacangan yang sampe harus pasang foto seseorang di DP? Atau kenalan lantaran SMS nyasar? Saya menganggap itu pun tidak kebetulan. Jika mereka berkenalan, saya rasa itu bagian dari rencana Tuhan. Jangankan soal perkenalan, darah di dalam tubuh ini pun sudah diaturnya sedemikian rupanya.  Apalagi masalah soal cara lewat apa mereka berkenalan. Tugas mereka adalah merawat hubungan yang telah Tuhan atur. Jaga dan rawat sampai ia tumbuh menjadi cinta. Cinta yang dapat membagikan semangat satu sama lain. Semangat untuk terus mencitai Tuhan.

Cintailah Tuhan, dan mintalah kepada Tuhan agar Tuhan mengajari pasanganmu mencitaimu setulus hatinya.

Jadi terkait jodoh pasti bertemu. Mari kita mengamini orang-orang yamg memiliki niatan baik dalam perjumpaan mereka 
SELANJUTNYA >>

Sabtu, 04 Januari 2014

Kamar Hotel yang menyimpan banyak pertanyaan

Tanggal 25 Desember 2013 yang lalu saya ke jogja. Lagi-lagi ini di luar rencana saya sebelumnya. Saya ikut rombongan tetangga yang tempo lalu juga ngadain Jiarah Ke Tasik. DISINI postingnya.

Masih dengan permasalahan yang sama. Peserta ada yang cancel. Demi menutupi anggaran yang sudah terlanjur dikeluarkan panitia untuk booking penginapan dan segala macamnnya, panitia dengan susah payah mengajak orang-orang yang mungkin bisa diajak, termasuk saya.

Ok. Saya tidak akan menceritakan bagaimana perjalanan menuju tempat yang menjadi pusat perhatian para turis asing maupun lokal itu. Tidak juga membeberkan tempat-tempat wisata apa saja yang rupawan disana. Siapapun tahu Jogja, apalagi anak-anak SMA sekarang, dimana tiap tahun setiap sekolah berbondong-bondong menuju kota itu.
 Video ini rasanya sudah cukup menggambarkan tempat apa saja yang saya kunjungi di sana

Terus Anda nulis blog ini?

Saya ingin menceritakan dari sisi yang berbeda. Dari pengalaman pribadi yang tidak begitu pandai diceritakan secara afik, Dari kejadian yang mungkin di luar nalar tapi memang benar terjadi, dan mungkin malah bisa menyebabkan terkesan biasa dan melemahkan kejadian aslinya akibat kurang pandai mengolah kata. Tapi saya tidak peduli. Saya cuma ingin mengabadikan kejadian yang benar-benar saya alami di blog ini. Menceritakan sebisa mungkin, setulus mungkin. Agar kelak anak cucu cicit saya mengetahui suatu kejadian yang saya alami dengan membaca blog ini. Oke saya terlalu lebai.


Jadi begini ceritanya.
Menurut pengakuan tetangga saya yang ikut juga dalam rombongan tour tersebut, kamar hotel yang saya tempati katanya angker. Ya angker. Serem.

Syukurlah, saya mengetahuinya setelah sampai di Jakarta.(Telat merinding)

 Oke lanjut ya!
Rombongan ke Jogja itu adalah rombongan yang teridiri dari para keluarga dan beberapa anaknya.(Emak-emak, bapak-bapak sama bocah-bocah kecil-kecil super berisik ketika mereka terjaga di dalam bus sepanjang perjalanan. Grrr...!!). Ada tiga cewek yang ikut rombongan tour itu, salah satunya adek kelas saya di SMA.

Jalan-jalan tersebut rencana lama buat mereka dan tentu rencana baru buat saya. Jadi tujuh kamar hotel yang di booking panita tersebut tidak bisa menampung saya, bukan karena kurang tapi karena nggak mungkin panitia menempatkan saya dalam satu kamar bareng tiga cewek termasuk adek kelas saya itu, apalagi  bareng sama salah satu keluarga dari rombongan itu. Jelas itu nggak mungkin.


Akhirnnya saya di tempatkan di kamar yang agak beda baik lokasi maupun ukuran kamarnya. Ya kamar itu hanya terdiri satu tempat tidur, sementara kamar lain masing-masing memiliki dua tempat tidur. Letaknya pun agak tersendiri di pojokan yang harus melalui lorong sempit.
Mungkin panitia merasa tidak enak atas ketidaknyamanan tersebut. Akhirnya untuk malam pertama di hotel itu saya ditemani salah satu anak laki-laki panitia untuk tidur bareng di kamar itu. Untung tempat tidurnya cukup buat berdua. Malam pertama di hotel itu nggak ada yang aneh buat saya, selain mimpi basah. *Ups!

Paginya setelah sarapan, saya bersama rombongan pergi ke Pantai Parangtritis dan ketempat wisata lainnya.
Pantai Parangtritis

Nah, malam keduanya nih..
Malam kedua saya nggak mau buru-buru untuk tidur. Saya lebih memilih keluar hotel menikmati suasana malam jogja tanpa rombongan. Sekitar jam sebelas malam baru saya memutuskan untuk kembali ke hotel dan masuk kamar. Saya pikir anak laki-laki panitia itu sudah masuk kamar dan sudah tertidur pulas, ternyata kamar itu masih sepi. Akhrinya saya memutuskan untuk tidur duluan. Mungkin anak itu juga tengah keluar hotel melakukan apa yang saya lakukan tadi.Oke gpp.

Saya tidur tanpa mengunci pintu kamar, karena saya tidak mau diganggu dengan ketukan pintu oleh anak itu ketika dia balik dan saya lagi asyik tidur.

Saya tidur normal seperti biasanya. Kaki di atas, kepala di bawah, plus sambil ngupil. Di pertengahan malam saya terbangun karena saking kegerahannya, kamar serasa panas dan.... kampreeett...!! Saya  tidur sendirian ternyata. Tidur di mana tuh bocah.

Saya melihat jam di handphone waktu sudah menunjukan jam tiga pagi. Dan saya baru ingat. Ya. Malam itu malam Jumat. Seketika itu juga saya mensuges diri untuk menjadi seorang yang positif dan pemberani. Oke gak ada apa-apa bhadick! Hantu itu hanya hayalan manusia. Sebelum selesai membatin, tiba-tiba saya mendengar suara aneh. Ya suara aneh. Saya dengar lagi secara seksama. Ok no problem, itu suara radio. Ya suara radio yang tengah memutar cerita serem dan saya hanya mendengar suara soundtracknya saja semacam kuntilanak ketawa dan anak kecil menangis.

Tapi... wait! Jam tiga pagi???
(Teman-teman yang di jogja tolong konfirmasi ya ada nggak cerita serem kayak di Ardan fm tapi siarannya jam 3 pagi? Saya sih coba berpikir positif aja itu emang suara radio)

Pagi harinya saya bangun agak telat. Subuh mepet. Semua rombongan sudah siap-siap packing buat melanjutkan perjalanan ke Borobudur.  Agendanya dari sana kita langsung ke Jakarta.

Di bus beberapa orang bercerita tentang suara aneh yang terjadi di hotel semalam. Saya hanya mendengarkan tanpa komen. Karena saya tidak begitu akrab sama mereka, sementara adek kelas saya dan tetangga yang saya kenal duduk dibangku depan. Saya lebih memilih memejamkan mata sambil mendengarkan celotehan mereka.

Singkat cerita saya sudah tiba di Jakarta. Sudah nyuci pakaian kotor, sudah pindahin file-file foto dari HP ke laptop, sudah selesai juga goyang oplosan. loh?


Ketika saya mengantar foto-foto yang sudah saya cetak ke tetangga yang juga ikut ke Jogja. Tetangga saya nanya

T    :  Dick kemarin tidur di kamar hotel itu gak ada apa-apa?
S     : Nggak ada Bu. Emang ada apaan?
T     : Soalnya Malik kemarin pindah tidurnya.
S     : Nah itu diah, kemarin Malik pindah kapok Bu, tidur bareng saya?
T     :Katanya ada yang narik kakinya. Makanya pas malam ke dua dia nggak berani lagi    tidur di kamar itu. Dia milih tidur sama Emaknya di kamar utama.
S     : Oh gitu.(saya jadi penasaran)
T    : Pas malam kedua juga waktu lo keluar hotel, ada dua petugas masuk kamar lo. Bawa apa gitu. Sebelumnya dia nanya, bu itu kamar ada yang nempatin? Pas kita bilang ada, dia balik lagi dan  ngambil sesuatu. Salah satu petugas itu bisik pelan ke kita ; kamarnya bau amis bu, makanya harus di semprot.
S      : Serius bu? (Pantes kamar itu bau anyir. Tapi saya lebih memilih nggak cerita karena berpikir positif bau yang ditimbulkan akibat kamar yang jarang dipakai)


Tapi okelah..semua telah berlalu.
Segala yang telah berlalu sudah tidak bisa kita apa-apakan lagi, selain cuma bisa kita syukuri atau kita beri arti..tentu arti yang positif.baiknya..

Tapi jujur saya masih banyak menyimpan pertanyaan tentang kamar hotel itu. Pertanyaan yang tidak mudah terjawab dengan mudah, dan mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengetahui semua itu. Inilah pertanyaan-pesrtanyaan penuh misteri itu:
Berapa sih harga permalam kamar hotel itu? Kamar yang saya tempati free kah? Atau memang free dan merupakan bonus dari manager hotel karena telah menyewa tujuh kamar?  Pernah nggak ya pasangan mesum menyewa kamar yang saya tempati kemarin?  Terus kalau saya ingin menyewa kamar itu bisa nggak melalui internet? dan masih banyak lagi pertanyaan yang belum terjawab dipikiran saya #GagalFokus




Sumber gambar: http://inikeramat.com/
                           http://uniknya.com/2011/12/5-kamar-jenazah-angker-di-dunia/

SELANJUTNYA >>